Kota
Pekanbaru sebentar lagi akan melaksanakan Pilkada sehubungan dengan berakhirnya
masa jabatan Walikota Pekanbaru dan Wakil, Firdaus dan Ayat Cahyadi pada Bulan
Januari 2017. Diberanda FB ramai bakal calon berdiri di tepi pantai memilih
perahunya. Semoga bakal calonnya ramai sehingga masyarakat antusias juga
beramai-ramai memilih jagoannya dan ngak seperti tahun 2012 lalu, partisipasi
masyarakat Pekanbaru rendah. Seperti yang gua baca dari berita lama di Koran
Tribun...
Partisipasi
Masyarakat Pekanbaru Paling Rendah Terhadap Pemilu
Selasa, 13 Maret 2012 14:05
TRIBUNPEKANBARU.COM,PEKANBARU-Partisipasi masyarakat pada Pemilihan Suara Ulang (PSU) Kota
Pekanbaru Desember 2011 lalu hanya 44,38 persen. Angka partisipasi tersebut
sangat rendah. Walau pada Pemilukada Kota Pekanbaru Mei lalu sempat mencapai
50,24 persen. Pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat angka partisipasi di
PSU tersebut adalah yang terendah dalam sejarah Pemilukada di Riau.
"Angka partisipasi di PSU
Pekanbaru Desember 2011 lalu adalah yang paling rendah. Padahal di Pekanbaru
media massanya banyak," jelas Ketua KPU Provinsi Riau, Tengku Edy Sabli di
sela Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu Bagi Organisasi Masyarakat (Ormas) di
Provinsi Riau, Selasa (13/3) di Hotel Mutiara Merdeka.
Dikatakan Edy, angka partisipasi Pemilukada
tertinggi dicatat pada pemilukada Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansig) pada
2010 lalu. Angka partisipasi yaitu 72,79 persen.
Kemudian disusul Pemilukada Rokan
Hulu pada tahun 2011. Angka partisipasinya mencapai 72,66 persen.(www.tribunpekanbaru.com/Cr10)
Berarti yang menang itu golput bukan
? hehehehehe. Mengingat mahasiswa adalah penggerak demokrasi dimana saat tahun
1998, zaman reformasi. Saat zaman mahasiswa "takut" ama dosen, dosen
"takut" ama dekan, dekan "takut" ama walikota, walikota
"takut" ama gubernur, gubernur "takut" ama presiden. Dan
presiden ternyata..."takut" ama mahasiswa. Bukankan tahun 1998 masa
lengsernya presiden Soeharto.Ingat sejarah mahasiswa ya....
--------------------------------------------------------
"Saya
memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI,
terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998,"
ujar Soeharto saat membacakan surat pengunduran dirinya.
Banyak orang bersorak saat televisi mengumumkan langsung orang nomor satu di Indonesia saat itu menyatakan mundur dari kursi kekuasaannya yang telah diduduki selama 32 tahun. Para mahasiswa berteriak seolah memenangkan pertempuran besar. Namun sebagian ada juga yang meneteskan air mata saat melihat tubuh pria renta itu membacakan surat sakti yang menandai dimulainya orde reformasi.
Meski demikian banyak yang tidak mengetahui detik-detik genting dalam perjalanan bangsa ini ketika Soeharto tepat pada pukul 09.00 WIB. Banyak rangkaian peristiwa besar terjadi menjelang detik-detik tersebut.
Tanggal 18 Mei 1998, sore sekitar pukul 15.30 WIB, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, menyatakan bahwa demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. (Sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-momen-momen-menegangkan-jelang-soeharto-lengser-21-mei-1998.htm)
Banyak orang bersorak saat televisi mengumumkan langsung orang nomor satu di Indonesia saat itu menyatakan mundur dari kursi kekuasaannya yang telah diduduki selama 32 tahun. Para mahasiswa berteriak seolah memenangkan pertempuran besar. Namun sebagian ada juga yang meneteskan air mata saat melihat tubuh pria renta itu membacakan surat sakti yang menandai dimulainya orde reformasi.
Meski demikian banyak yang tidak mengetahui detik-detik genting dalam perjalanan bangsa ini ketika Soeharto tepat pada pukul 09.00 WIB. Banyak rangkaian peristiwa besar terjadi menjelang detik-detik tersebut.
Tanggal 18 Mei 1998, sore sekitar pukul 15.30 WIB, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, menyatakan bahwa demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. (Sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-momen-momen-menegangkan-jelang-soeharto-lengser-21-mei-1998.htm)
----------------------------------
Hanya
sekedar mengingatkan dan untuk mengingat mahasiswa juga, maka apa salahnya gua
menggunakan pikiran mahasiswa bagaimana dan kenapa partisipasi masyarakat
rendah dalam pilkada. Sumbernya gua caplok jurnal hasil penelitian mahasiswa
yang dipubikasikan via internet. Soale dana penelitian ngak ada hehehehe
lagipula jurnal hasil penelitian mahasiswa merupakan ringkasan tugas akhir
(skripsi) mereka untuk memperoleh Gelar Kesarjanaan dan telah diuji dihadapan
penguji yang berkompeten, bukan begitu ???? dan pasti tidak lupa disebutkan
salah satu tujuan penelitian mahasiswa dalam tugas akhirnya adalah untuk
digunakan bagi pihak-pihak lain yang membahas topik yang sama di masa
mendatang. Thankyou :)
-------------------------------------
PERILAKU
POLITIK TIDAK MEMILIH MASYARAKAT
KECAMATAN
TAMPAN DALAM PILKADA
KOTA
PEKANBARU TAHUN 2011
ABSTRAK
Arianto
Azis
(Bangrianazis@yahoo.co.id)
Pembimbing : Drs. H. Ishak, M.Si
Ironisnya, partisipasi masyarakat Kecamatan Tampan dapat dikatakan
cukup rendah. Data hasil rekapitulasi suara memaparkan hanya 37.545 jiwa atau
45,24% masyarakat Kecamatan Tampan yang menggunakan hak suaranya pada Pilkada
Kota Pekanbaru tahun 2011 lalu, ditambah lagi terdapat 536 suara yang merupakan
suara tidak sah. Tingkat partisipasi politik masyarakat sangat berhubungan erat
dengan perilaku politik masyarakatnya, karena perilaku politik ikut
mempengaruhi tingkat partisipasi politik.
Faktor
Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Hak Suara Masyarakat Kecamatan Tampan Pada
Pilkada Kota Pekanbaru Tahun 2011.
1. Faktor Internal
a.
Faktor Psikologis
Faktor psikologi pada dasarnya dapat
dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri
kepribadian seseorang. Kedua, berkaitan dengan orientasi
kepribadian.Penjelasan pertama melihat bahwa perilaku non-voting disebabkan
oleh kepribadian yang tidak toleran,otoriter, tak acuh, perasaan, tidak aman,
perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi, dan
semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak toleran atau tak acuh
cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang diperjuangkan kandidat atau
partai politik tidak selalu sejalan dengan kepentingan perorangan secara
langsung, betapapun mungkin hal itu menyangkut kepentingan umum yang lebih
luas.
b.
Sistem Politik
Secara teoritis belum ada
kesepakatan yang pasti adanya hubungan antara demokratis tidaknya sistem
politik dengan kuantitas kehadiran atau ketidakhadiran pemilih dalam suatu
pemilu. Kenyataan menunjukkan kehadiran dan ketidakhadiran dalam pemilu tidak
secara jelas menunjukkan adanya hubungan kedua variabel tersebut.
c.
Kepercayaan Politik
Dalam konteks perilaku non-voting,
kepercayaan pada sistem politik yang ada dapat mempengaruhi perilaku pemilih ,
ikut serta dalam pemilihan atau hanya sekedar menjadi penonton karna ketidak
percayaan individunya terhadap politik, terlebih dalam pemilihan kepala daerah
kota pekanbaru pada tahun 2011 dilangsungkan dua kali, adanya permasalahan
sehingga diadakanya proses pemungutan suara ulang, sehingga peristiwa ini
menimbulkan ketidak percayaan terhadap politik atau tokoh tokoh politik yang
sedang berusaha mengambil simpati masyarakat dengan janji janji politik.
d.
Latar Belakang Sosial Ekonomi
Setidaknya ada tiga indicator untuk
menjelaskan status social ekonomi yaitu pendidikan, tingkat pendapatan dan
pekerjaan.Terdapat beberapa alasan mengapa tingkatstatus sosial ekonomi
berkorelasi dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih. Pertama,tingkat
pendidikan tinggi menciptakan kemampuan lebih besar untuk mempelajari
kehidupanpolitik tanpa rasa takut, disamping memungkinkan seseorang menguasai
aspek-aspek birokrasi,baik pada saat pendaftaran maupun pemilihan. Kedua,
pekerjaan-pekerjaan tertentulebih menghargai partisipasi warga. Para pemilih
yang bekerja di lembaga-lembaga atausektor-sektor yang berkaitan langsung
dengan kebijakan pemerintah cenderung lebih tinggi tingkat kehadirannya dalam
pemilu disbandingkan para pemilih yang bekerja pada lembagalembaga atau sektor-sektor
yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan kebijakanpemerintah. Para pegawai
negeri atau pensiunan misalnya, menunjukkan tingkat kehadiran memilih lebih
tinggi dibanding yang lain. Sebab para pegawai negeri ini sering terkena
langsungdengan kebijakan pemerintah seperti kenaikan gaji, pemutusan hubungan
kerja dan lain sebagainya. Ketiga, pendapatan yang tinggi memudahkan orang
untuk menanggung bebanfinansial akibat keterlibatannya dalam proses pemilu.
Beberapa hasil penelitian menunjukkanbahwa hubungan antara tingkat pendidikan
dengan tingkat kehadiran selalu menunjukkan arah yang berlawanan. Pemilih yang
tingkat pendidikannya rendah cenderung menunjukkan angka ketidakhadiran dalam
pemilu yang cukup tinggi. Sebaliknya, pemilih yang berpendidikan tinggi
cenderung angka ketidakhadirannya dalam pemilu rendah. Sementara itu hubungan
antara tingkat pendapatan dengan tingkat ketidakhadiran juga menunjukkan pola
yang sama. Para pemilih yang tingkat pendapatannya rendah cenderung menunjukkan
angka ketidakhadiran dalam pemilu cukup tinggi. Sebaliknya, para pemilih dengan
latar belakang pendapatan tinggi cenderung angka ketidakhadiran-nya dalampemilu
rendah. Tetapi beberapa kasus menunjukkan bahwa yang mempunyai “status
menyilang”justru cenderung tidak memilih.
2.
Faktor Eksternal
a.
Administasi
Seorang pemilih tidak ikut
memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai
kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Hal ini
juga terjadi pada Pilkada Kota Pekanbaru lalu juga mempengaruhi masyarakat
didalam memberikan hak suaranya. Dimana masih terdapat mayarakat yang tidak
mendapatkan undangan dari panitia penyelenggara (petugas KPPS), dan tidak
adanya kartu identitas (KTP) kebanyakan masyarakat menambah deretan pemilihyang
tidak bisa ikut dalam memberikan hak pilih secara otomatis termasuk kedalam
golput. Secara adiministratif KTP merupakan rujukan dalam mendata dan membuat
DPT, maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih minimal enam bulan di
satu tempat.
b.
Teknis
Faktor
teknis dalam hal ini menyangkut hal-hal teknis yang terjdi pada saat hari
pemilihan, dimana masyarakat memiliki kesibukan lainnya, sehingga tidak dapat
ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan hak suaranya. Seseorang memutuskan
tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja
di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari
pemilihan dan sebagainya. Adanya pergantian anggota penyelenggara pemilu dari
tingkat KPU hingga KPPS juga menyebabkan adanya permasalahan baru dalam faktor
ini, yaitu kurangnya pengalaman penyelenggara (petugas KPPS). lambatnya
informasi dan kurang mengerti terhadap aturan-aturan bagi pemilih maupun
pemilih tambahan. Masyarakat Kota Pekanbaru khususnya Kecamatan Tampan yang
dikenal sebagai daerah industri kecil dan jasa di Kota Pekanbaru. Mayoritas
profesi masyarakat Kecamatan Tampan adalah sebagai pedagang, berkebun dan juga
bekerja sebagai supir angkutan umum. Hal ini tentunya juga mempengaruhi masyarakat
pada saat di hari pemilihan dalam memberikan hak suaranya di TPS.
Pada hari Pemilihan tanggal 21 Mei
2011 maupun pada saat PSU, Kota Pekanbaru meliburkan semua pegawai, begitupula
para pelaku usaha meliburkan karyawannya untuk dapat meberikan hak suaranya ke
Tempat Pemungutan Suara sesuai dimana mereka terdaftar didalam DPT. Namun untuk
para pelaku usaha kecil, seperti pedagang serta supir angkutan umum juga
petani, mereka tidak merasakan yang namanya libur.
c.
Politik
Seseorang
tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak
memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting. Hal ini merupakan
salahsatu penyebab masyarakat tidak memberikan hak suaranya atau yang biasa
kita dengar dengan istilah “golput”. Masyarakat tidak menganggap penting
tentang subtansi dari pada memberikan hak suaranya pada setiap Pemilu khusunya
Pilkada yang akan menentukan nasib mereka lima tahun kedepan, dimana Kepala
Daerah yang terpilih nantinya akan membuat kebijakan-kebijakan yang mau tidak
mau harus dijalankan oleh masyarakat, karena kebijakan pemerintah (Kepala
Daerah) bersifat mengikat kepada seluruh masyarakat didaerah administrasinya
dan bersifat memaksa, dimana setiap masyarakat harus menjalankannya.
Stigma
politik itu kotor, kejam, menghalalkan segala cara dan sebagainya memperburuk
kepercayaan masyarakat khususnya masyarakat Tampan apalagi proses pemilukada
pada Tahun 2011 merupakan proses pemilukada yang banyak menemukan kecurangan
dan lain lain hingga terjadi proses gugatan ke mahkamah konstitusi. Perihal
seperti iniyang menyebabkan dimana masyarakat menjadi acuh terhadap politik,
mekanisme politik sudah bukan merupakan barang baru yang terjadi di Indonesia,
begitupula di Kota Pekanbaru khusunya Kecamatan Tampan.
Adapun
beberapa hal yang menyebabkan perilaku politik yang cenderung negative tersebut
berdasarkan beberapa faktor. Baik faktor internal (dari dalam pribadinya
sendiri) maupun faktor eksternal (diluar pribadinya)
- Yaitu faktor psikologi: menganggap tidak adanya perubahan signifikan jika ia ikut memberikan hak pilihnya, merasa tidak diuntungkan dalam pemilu tersebut
- Faktor latar belakang social dan ekonomi , Seperti kesibukan masyarakat bekerja, karena masalah ekonomi yang memaksa ia harus mencari rezeki.
- Ketidakpercayaan masyarakat terhadap calon kandidat dan janji-janji politiknya (kepercayaan politik) yang biasa terjadi pada Pikada,
- Kurangnya sosialisasi oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini pemerintah dan KPU. (sistem politik)
- kurangnya pendidikan politik, kesadaran tentang esensi dari pentingnya Pemilukada terhadap kelangsungan hidup masyarakat Kecamatan Tampan
- Adanya masyarakat yang tidak terdata dalam dalam DPT dan sedang berada diluar kota ketika pemilihan sedang berlangsung
------------------------------------------------------------
PERSPEKTIF
PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) KOTA
MALANG
Yustinus
Usfinit, Agung suprojo, Dody setyawan
Program
Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, universitas tribhuwana tunggadewi
Email: yustinus218@gmail.com
Berdasarkan
hasil wawancara antar peneliti dan responden pada saat pengumpulan data
peneliti menemukan beberapa factor yang menjadi pendorong partisipasi politik
masyarakat kota malang pada saat pemilihan kepala daerah Kota Malang tahun 2013
yakni
- Faktor sosok calon. Pesta demokrasi langsung sudah diselenggarakan beberapa kali di indonesia terutama setelah masa orde baru yakni rakyat diberikan kebebasan penuh untuk memilih serta menentukan pemimpin tanpa intimidasi dari pihak manapun hal ini juga yang dirasakan oleh masyarakat Kota Malang. Pesta demokrasi yang seutuhnya diberikan kepada rakyat untuk menentukan pemimpin seringkali disalah gunakan oleh pemimpin terpilih dengan cara mengabaikan kepentingan rakyat dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan untuk membangkitkan partisipasi politik masyarakat dalam pesta demokrasi diperlukan sosok yang mampu melihat serta mendengar kepentingan rakyat
- Faktor visi dan misi. Masyarakat indonesia dalam tatanan pendidikan bisa dikatakan sudah mengalami peningkatan baik sehingga setiap perkembangan isu selalu diikuti dan dicermati seperti visi dan misi yang diusung oelh para calon juga tidak hanya sekedar didengar tetapi masyarakat mulai mengkaji realisasi dari visi misi para calon.
- Faktor Lama Tinggal. Semakin lama seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut. Partisipasi masyarakat Kota Malang cukup besar pada pemilihan kepala daerah tahun 2013 hal ini dikarenaka masyarakat kota malang mayoritas penduduk asli dan masyarakat pendatang yang sudah lama menetap dan menjadi masyarakat Kota Malang,sehingga rasa memiliki terhadap lingkngannya cukup kuat.faktor ini menjadi salah satu penyebab pendorong partisipasi masyarakat.
- Sosialisasi politik. Sosialisasi politik adalah suatu proses agar setiap individu atau kelompok dapat mengenali sistem politik dan menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap fenomena-fenomena politik. Sosialisasi politik berperan mengembangkan serta memperkuat sikap politik di kalangan warga masyarakat yang sadar politik, yaitu sadar akan hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama. Peranan tersebut melibatkan keluarga, sekolah, dan lembaga-lembaga tertentu yang ada dalam masyarakat. Sosialisasi politik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pilkada sehingga sosialisasi politik perlu melibatkan semua unsur.
- Kesadaran politik. Kesadaran yang dibentuk melalui pilkada menurut (Oktaviani 2011) sebagai salah satu pendukung partisipasi politik, selain daripada pendidikan politik. Kesadaran politik akan memunculkan peran aktif masyarakat dalam meningkatkan mutu kehidupan dengan melakukan pengawasan ketat atas kebijakan penguasa. Adanya kesadaran politik berarti adanya kesadaran masyarakat tentang bagaimana pengaturan urusan mereka; aturan seperti apa dan siapa yang akan menjalankan aturan tersebut.
- Pendidikan politik. Pendidikan politk merupakan proses mempengaruhi individu agar dia mendapatkan informasi, wawasan dan ketrampilan politk sehinga sangup bersikap kritis dan lebih intesional terarah hidupnya. Selain itu bisa menjadi warga Negara yang lebih mantap, tidak terapung tanpa bobot dan tanpa pengaruh orientasi terhadap keadaan sendiri dan kondisi lingkunganya. Pendidikan politk menjadi penting bagi masyarakat sebagai upaya penyampaian(penanaman) nilai-nilai pengetahuan dan ideologi warganegara mengenai bagaimana diberlakukanya sistem, regulasi dan kebijakan negara termasuk hal yang dirumuskan oleh kebijakan dan demokrasi politik. Pengetahuan ini penting untuk dimilki masyarakat guna untuk mengenali hak-haknya dalam upaya berpartisipasi menegakan keadilan dan demokrasi.
- Jumlah TPS dan mudah dijangkau. Lokasi dan jumlah TPS menjadi factor pendorong partisipasi masyarakat Kota Malang pada pemilihan kepala daerah. Dari data yang diperoleh dari KPU Kota Malang jumlah TPS pada pemilihan kepala daerah Kota Malang berjumlah 1.200buah. Jika dibagi ke setiap kelurahan yang ada di Kota Malang maka rata-rata setiap kelurahan terdapat 21 TPS,serta lokasi TPS yang ditempatkan tidak jauh dari pemukiman warga.karena jarak Yang mudah ditempuh serta jumlah TPS yang memadai masyarakat antusias untuk berpartisipasi.
- Rasa ingin tahu. Bagi masyarakat pemilih pemula kesempatan ini adalah pengalaman yang pertama dan mereka ingin tahu seperti apa ketika terlibat langsung dalam pemilihan. Hal ini juga menjadi factor pendorong partisipasi masyarakat. Rasa ingin tahu bukan saja dialami oleh pemilih pemula tetapi bagi masyarakat Kota Malang yang sudah beberapa kali ikut dalam pemilihan umum terutama pemilihan kepala daerah kususnya alasan yang mendasar adalah ingin mengetehui kinerja dari para calon kepalah daerah yang akan terpilih.
-----------------------------------------------------------
ANALISIS PENYEBAB MASYARAKAT TIDAK
MEMILIH DALAM PEMILU
Bismar Arianto1
Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan,
Vol. 1, No. 1, 2011
Kata golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti
dari kata golput adalah tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu
dengan berbagai faktor dan alasan. Fenomena golput sudah terjadi sejak
diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau kurangnya
informasi tentang penyelenggaraan pemilu.Biasanya mereka tidak datang ke tempat
pemungutan suara. Sedangkan di era Orde Baru, golput lebih diartikan sebagai
gerakan moral untuk memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis
oleh penguasa saat itu. Golput tidak hanya terjadi dalam pemilu legislatif.
Dalam perhelatan politik di tingkat lokal
seperti pemilihan umum
kepala daerah (pilkada) gejala golput juga terjadi. Dalam pilkada Gubernur
Kepulauan Riau dari data quick count yang dilakukan LSI golput mencapai
angka 50%. Pilkada Batam 2011 angka masyarakat yang tidak memilih melebihi
angka 50 %, kasus yang sama juga terjadi di Kabupaten Karimun di atas 40% dipastikan
tidak menggunakan hak pilih. Fenomena semakin banyaknya masyarakat yang tidak
menggunakan hak pilih juga terjadi di daerah lain di Indonesia.
Tinjauan Penelitian
Sebelumnya
Berdasarkan hasil
penelitianan yang dilakukan oleh Tauchid Dwijayanto ada tiga faktor utama yang
menyebabkan tingginya angka golput dalam Pilgub Jateng 2008-2013 di Kota
Semarang yaitu ;
- Masih lemahnya sosialisasi tentang Pilgub Jawa Tengah. Dari temuan penelitian tersebut di tegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang serta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinyatakan masih sangat kecil peranannya dalam rangka mensosialisasikan pengetahuan tentang pelakasanaan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah.
- Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi. Tauchid Dwijayanto mengatakan bahwa maka mayoritas responden lebih memilih untuk bekerja dari pada datang ke TPS memberikan suara, karena faktor ekonomi dimana masyarakat lebih memilih bekerja dari pada hilang pengasilannya dari pada hadir di TPS yang berdampak pada berkurangnya penghasilan, sementara tuntutan ekonomi keluarga semakin kuat
- Sikap apatisme terhadap pemilihan gubernur. Hasil temuan penelitian Tauchid Dwijayanto mengatakan mayoritas responden (67%) menganggap bahwa dengan dilaksanakannya Pilgub ini tidak akan membawa perubahan apapun baik terhadap provinsi maupun kehidupan mereka. Menurut mereka perhelatan semacam Pilgub ini hanyalah sebuah rutinitas politik saja tanpa menjanjikan suatu perubahan yang berarti.
Peneliti lain yang
membahas tentang fenomoena golput adalah Efniwati, penelitiannya berjudul
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Hak Pilih pada Pemilihan Presiden
2009 di Kota Dumai (Studi Kasus di Kecamatan Dumai
Timur dan Kecamatan Sei. Sembilan). Temuan
kajian Efniwati yang dilakukan di dua kelurahan di Kota Dumai untuk perilaku
masyarakat tidak memilih menunjukkan ada dua
faktor yang kuat mempengaruhi masyarakat. Faktor pekerjaan responden adalah
faktor yang paling dominan mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak
pilihnya di Kelurahan Sukajadi yaitu sebesar 16,9%, sedangkan di Kelurahan
Bangsal Aceh faktor lokasi TPS (X12) adalah faktor yang paling dominan
mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada Pilpres 2009
yaitu sebesar 15,9%. Hingga saat ini,
ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat atau penyelenggara
Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama, administratif. Seorang
pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi
seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan
sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih
karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan,
sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya.
Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political
engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan
politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting.
Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak
pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu
legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti.
Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya (Eriyanto ;
2007)
Analisa Penyebab Golput
Merujuk pedapat Arbi
Sanit golput dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu Pertama, menusuk
lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu
suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak
menggunakan hak pilih. Sedangkan menurut Novel Ali dapat di bagi dua kelompok
golput awam dan kelompok golput pilihan. Secara lebih detail diuraikan oleh Eep
Saefulloh Fatah golput teknis, golput teknis-politis golput politis dan golput
ideologis. Dalam pemahaman penulis faktor
yang menyebabkan masyarakat untuk tidak
menggunakan hak pilihnya secara sederhana dapat di klasifikasikan kedalam dua
kelompok besar yaitu faktor dari internal pemilih dan faktor ekternal. Faktor
internal yang penulis maksud adalah alasan pemilih untuk tidak menggunakan hak
pilih dalam pemilu bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan ekternal alasan
tersebut datang dari luar dirinya.
- Faktor Internal. Menunjukkan tiga alasan yang datang dari individu pemilih yang mengakibatkan mereka tidak menggunakan hak pilih. Diantaranya alasan teknis dan pekerjaan pemilih.
a. Faktor Teknis. Faktor teknis yang
penulis maksud adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh
pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat
hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain
serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi
itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan
hak pilihnya. Faktor teknis ini dalam pemahaman dapat di klasifikasikan ke
dalam dua hal yaitu teknis mutlak dan teknis yang bisa di tolerir. Teknis
mutlak adalah kendala yang serta merta membuat pemilih tidak bisa hadir ke TPS
seperti sakit yang membuat pemilih tidak bisa keluar rumah. Sedang berada di
luar kota. Kondisi yang seperti yang penulis maksud teknis mutlak. Teknis yang
dapat di tolerir adalah permasalahan yang sifatnya sederhana yang melakat pada
pribadi pemilih yang mengakibat tidak datang ke TPS. Seperti ada keperluan
keluarga, merencanakan liburan pada saat hari pemilihan. Pada kasus-kasus
seperti ini dalam pemahaman penulis pemilih masih bisa mensiasatinya, yaitu
dengan cara mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilih terlebih dahulu baru
melakukan aktivitas atau keperluan yang bersifat pribadi. Pemilih golput yang
karena alasan teknis yang tipe kedua ini cenderung tidak mengetahui essensi
dari menggunakan hak pilih, sehingga lebih mementingkan kepentingan pribadi
dari pada menggunakan pilihnya. Pemilih ideal harus mengetahui dampak dari satu
suara yang diberikan dalam pemilu. Hakikatnya suara yang diberikan itulah yang
menentukan pemimpin lima tahun mendatang. Dengan memilih pemimpin yang baik berarti
pemilih berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik pula.
b. Faktor Pekerjaan. Faktor pekerjaan
adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam
pemahaman penulis memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih.
Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 dari 107,41 juta orang
yang bekerja, paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang
(39,88 persen), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68
persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54
persen). Data yang hampir sama di Provinsi Kepuluan Riau berdasarkan Data BPS
2010, sebanyak 31,9% penduduk bekerja di sektor industri, sektor jasa kemasyarakatan
sebesar 20,7%, sektor perdagangan sebesar 18,18% dan pertanian dan perkebunan
13,5%. Data di atas menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di
sektor informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya
bekerja. Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika
mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan. Seperti tukang
ojek, buruh harian, nelayan, petani harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat
yang mengharuskan mereka untuk meninggal tempat tinggalnya seperti para pelaut,
penggali tambang. Kondisi seperti membuat mereka harus tidak memilih, karena
faktor lokasi mereka bekerja yang jauh dari TPS. Maka dalam pemahaman penulis
faktor pekerjaan cukup singifikan pada pada faktor internal membuat pemilih
untuk tidak memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua
pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang yang penghasilannya
atau pergi bekerja dan tidak memilih.
2. Faktor
Eksternal.
Faktor ektenal faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan
pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Ada tiga yang masuk pada
kategori ini menurut pemilih yaitu aspek administratif, sosialisasi dan
politik.
a. Faktor Administratif. Faktor adminisistratif
adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan
pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai
pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas
kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih
tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih
jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah
buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu
karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika kondisi yang seperti ini terjadi
maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam kategori golput. Faktor
berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan
kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak
memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena
secara administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT.
Maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6
bulan di satu tempat. Golput yang diakibat oleh faktor administratif ini bisa
diminimalisir jika para petugas pendata pemilih melakukan pendataan secara
benar dan maksimal untuk mendatangi rumah-rumah pemilih. Selain itu dituntut
inisiatif masyarakat untuk mendatangi petugas pendataan untuk mendaftarkan diri
sebagai pemilih. Langkah berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara) harus tempel
di tempat-tempat strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga
harus berinisiatif melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar segara melopor
ke pengrus RT atau petugas pendataan. Langkah berikut untuk menimalisir terjadi
golput karen aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan data kependudukan
berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E KTP) yang dilakukan
pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif dalam menimalisir
golput administratif.
b. Sosialisasi. Sosialisasi atau
menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam
rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia
cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu
legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih
kecil RT/RW. Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya
meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama
pemilu di era reformasi selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang
berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004
dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik
nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini menuntut perlunya
sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan berikut yang menuntut perlunya
sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara pemilu sebelum
reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru hanya memilih
lambang partai sementara sekarang selian memilih lambang juga harus memilih
nama salah satu calon di pertai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada
pemilu 2009 dimana kita tidak lagi mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara
menandai. Kondisi ini semualah yang menuntu pentingnya sosialisasi dalam rangka
menyukseskan pelaksanaan pemilu dan memenimalisir angka golput dalam setiap
pemilu. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di
pedesaan maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai pentingi, apalagi bagi
masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka sosiliasi dari
mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka golput.
c. Faktor Politik. Faktor politik adalah
alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau
memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat
yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan
perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak
pilihnya. Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain
sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat
masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena
tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik
dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu.
Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.
Faktor lain adalah
para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan memperjuangkan
aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai,
dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya di
bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain
adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal
partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan
politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati
masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para
politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik (fatsoen). Politik
pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian
masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara
mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan
melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada
mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan
lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang
seperti penulis uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat untuk
menggunakan hak pilihnya. Sebagian Masyarakat semakin tidak yakin dengan
politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi
yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak
baik.
Penutup
Angka masyarakat yang
tidak memilih atau golput dari pemilu ke pemilu terus meningkat. Dari
pembahasan tulisan ini tergambar setidaknya ada lima faktor yang membuat orang
tidak memilih mulai dengan faktor teknis dan pekerjaan merupakan faktor
internal serta faktor ekternal yang terdiri dari administratif, sosialisasi dan
politik. Kelima faktor ini berkontribusi terhadap meningkatnya angka golput.
Harus ada upaya yang
maksimal untuk memenimalisir meningkatnya angka masyarakat yang
tidak memilih dalam pemilu. Karena kualitas pemilu secara tidak langsung juga
dilihat dari legitimasi pemimpin yang
terpilih. Semakin kuat dukungan rakyat semakin kuatlah tingkat kepercayaan rakyat.
--------------------------------------------------------------------------------------------