Wednesday, February 24, 2016

P 3 : PARTY, PARTAI, PILKADA DTINJAU DARI SUDUT SIKU-SIKU



Kota Pekanbaru sebentar lagi akan melaksanakan Pilkada sehubungan dengan berakhirnya masa jabatan Walikota Pekanbaru dan Wakil, Firdaus dan Ayat Cahyadi pada Bulan Januari 2017. Diberanda FB ramai bakal calon berdiri di tepi pantai memilih perahunya. Semoga bakal calonnya ramai sehingga masyarakat antusias juga beramai-ramai memilih jagoannya dan ngak seperti tahun 2012 lalu, partisipasi masyarakat Pekanbaru rendah. Seperti yang gua baca dari berita lama di Koran Tribun...

Partisipasi Masyarakat Pekanbaru Paling Rendah Terhadap Pemilu
Selasa, 13 Maret 2012 14:05

TRIBUNPEKANBARU.COM,PEKANBARU-Partisipasi masyarakat pada Pemilihan Suara Ulang (PSU) Kota Pekanbaru Desember 2011 lalu hanya 44,38 persen. Angka partisipasi tersebut sangat rendah. Walau pada Pemilukada Kota Pekanbaru Mei lalu sempat mencapai 50,24 persen. Pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat angka partisipasi di PSU tersebut adalah yang terendah dalam sejarah Pemilukada di Riau. 
"Angka partisipasi di PSU Pekanbaru Desember 2011 lalu adalah yang paling rendah. Padahal di Pekanbaru media massanya banyak," jelas Ketua KPU Provinsi Riau, Tengku Edy Sabli di sela Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu Bagi Organisasi Masyarakat (Ormas) di Provinsi Riau, Selasa (13/3) di Hotel Mutiara Merdeka.
Dikatakan Edy, angka partisipasi Pemilukada tertinggi dicatat pada pemilukada Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansig) pada 2010 lalu. Angka partisipasi yaitu 72,79 persen.
Kemudian disusul Pemilukada Rokan Hulu pada tahun 2011. Angka partisipasinya mencapai 72,66 persen.(www.tribunpekanbaru.com/Cr10)


Berarti yang menang itu golput bukan ? hehehehehe. Mengingat mahasiswa adalah penggerak demokrasi dimana saat tahun 1998, zaman reformasi. Saat zaman mahasiswa "takut" ama dosen, dosen "takut" ama dekan, dekan "takut" ama walikota, walikota "takut" ama gubernur, gubernur "takut" ama presiden. Dan presiden ternyata..."takut" ama mahasiswa. Bukankan tahun 1998 masa lengsernya presiden Soeharto.Ingat sejarah mahasiswa ya....
 --------------------------------------------------------

"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998," ujar Soeharto saat membacakan surat pengunduran dirinya.
Banyak orang bersorak saat televisi mengumumkan langsung orang nomor satu di Indonesia saat itu menyatakan mundur dari kursi kekuasaannya yang telah diduduki selama 32 tahun. Para mahasiswa berteriak seolah memenangkan pertempuran besar. Namun sebagian ada juga yang meneteskan air mata saat melihat tubuh pria renta itu membacakan surat sakti yang menandai dimulainya orde reformasi.
Meski demikian banyak yang tidak mengetahui detik-detik genting dalam perjalanan bangsa ini ketika Soeharto tepat pada pukul 09.00 WIB. Banyak rangkaian peristiwa besar terjadi menjelang detik-detik tersebut.
Tanggal 18 Mei 1998, sore sekitar pukul 15.30 WIB, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, menyatakan bahwa demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. (Sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-momen-momen-menegangkan-jelang-soeharto-lengser-21-mei-1998.htm)
----------------------------------

Hanya sekedar mengingatkan dan untuk mengingat mahasiswa juga, maka apa salahnya gua menggunakan pikiran mahasiswa bagaimana dan kenapa partisipasi masyarakat rendah dalam pilkada. Sumbernya gua caplok jurnal hasil penelitian mahasiswa yang dipubikasikan via internet. Soale dana penelitian ngak ada hehehehe lagipula jurnal hasil penelitian mahasiswa merupakan ringkasan tugas akhir (skripsi) mereka untuk memperoleh Gelar Kesarjanaan dan telah diuji dihadapan penguji yang berkompeten, bukan begitu ???? dan pasti tidak lupa disebutkan salah satu tujuan penelitian mahasiswa dalam tugas akhirnya adalah untuk digunakan bagi pihak-pihak lain yang membahas topik yang sama di masa mendatang. Thankyou :)

-------------------------------------

PERILAKU POLITIK TIDAK MEMILIH MASYARAKAT
KECAMATAN TAMPAN DALAM PILKADA
KOTA PEKANBARU TAHUN 2011
ABSTRAK
Arianto Azis
(Bangrianazis@yahoo.co.id)
Pembimbing : Drs. H. Ishak, M.Si

Ironisnya, partisipasi masyarakat Kecamatan Tampan dapat dikatakan cukup rendah. Data hasil rekapitulasi suara memaparkan hanya 37.545 jiwa atau 45,24% masyarakat Kecamatan Tampan yang menggunakan hak suaranya pada Pilkada Kota Pekanbaru tahun 2011 lalu, ditambah lagi terdapat 536 suara yang merupakan suara tidak sah. Tingkat partisipasi politik masyarakat sangat berhubungan erat dengan perilaku politik masyarakatnya, karena perilaku politik ikut mempengaruhi tingkat partisipasi politik.

Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Hak Suara Masyarakat Kecamatan Tampan Pada Pilkada Kota Pekanbaru Tahun 2011.
  
1.      Faktor Internal
a.   Faktor Psikologis
Faktor psikologi pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian seseorang. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian.Penjelasan pertama melihat bahwa perilaku non-voting disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran,otoriter, tak acuh, perasaan, tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi, dan semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak toleran atau tak acuh cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang diperjuangkan kandidat atau partai politik tidak selalu sejalan dengan kepentingan perorangan secara langsung, betapapun mungkin hal itu menyangkut kepentingan umum yang lebih luas.

b. Sistem Politik
Secara teoritis belum ada kesepakatan yang pasti adanya hubungan antara demokratis tidaknya sistem politik dengan kuantitas kehadiran atau ketidakhadiran pemilih dalam suatu pemilu. Kenyataan menunjukkan kehadiran dan ketidakhadiran dalam pemilu tidak secara jelas menunjukkan adanya hubungan kedua variabel tersebut.

c. Kepercayaan Politik
Dalam konteks perilaku non-voting, kepercayaan pada sistem politik yang ada dapat mempengaruhi perilaku pemilih , ikut serta dalam pemilihan atau hanya sekedar menjadi penonton karna ketidak percayaan individunya terhadap politik, terlebih dalam pemilihan kepala daerah kota pekanbaru pada tahun 2011 dilangsungkan dua kali, adanya permasalahan sehingga diadakanya proses pemungutan suara ulang, sehingga peristiwa ini menimbulkan ketidak percayaan terhadap politik atau tokoh tokoh politik yang sedang berusaha mengambil simpati masyarakat dengan janji janji politik.

d. Latar Belakang Sosial Ekonomi
Setidaknya ada tiga indicator untuk menjelaskan status social ekonomi yaitu pendidikan, tingkat pendapatan dan pekerjaan.Terdapat beberapa alasan mengapa tingkatstatus sosial ekonomi berkorelasi dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih. Pertama,tingkat pendidikan tinggi menciptakan kemampuan lebih besar untuk mempelajari kehidupanpolitik tanpa rasa takut, disamping memungkinkan seseorang menguasai aspek-aspek birokrasi,baik pada saat pendaftaran maupun pemilihan. Kedua, pekerjaan-pekerjaan tertentulebih menghargai partisipasi warga. Para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga atausektor-sektor yang berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah cenderung lebih tinggi tingkat kehadirannya dalam pemilu disbandingkan para pemilih yang bekerja pada lembagalembaga atau sektor-sektor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan kebijakanpemerintah. Para pegawai negeri atau pensiunan misalnya, menunjukkan tingkat kehadiran memilih lebih tinggi dibanding yang lain. Sebab para pegawai negeri ini sering terkena langsungdengan kebijakan pemerintah seperti kenaikan gaji, pemutusan hubungan kerja dan lain sebagainya. Ketiga, pendapatan yang tinggi memudahkan orang untuk menanggung bebanfinansial akibat keterlibatannya dalam proses pemilu. Beberapa hasil penelitian menunjukkanbahwa hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kehadiran selalu menunjukkan arah yang berlawanan. Pemilih yang tingkat pendidikannya rendah cenderung menunjukkan angka ketidakhadiran dalam pemilu yang cukup tinggi. Sebaliknya, pemilih yang berpendidikan tinggi cenderung angka ketidakhadirannya dalam pemilu rendah. Sementara itu hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat ketidakhadiran juga menunjukkan pola yang sama. Para pemilih yang tingkat pendapatannya rendah cenderung menunjukkan angka ketidakhadiran dalam pemilu cukup tinggi. Sebaliknya, para pemilih dengan latar belakang pendapatan tinggi cenderung angka ketidakhadiran-nya dalampemilu rendah. Tetapi beberapa kasus menunjukkan bahwa yang mempunyai “status menyilang”justru cenderung tidak memilih.

2. Faktor Eksternal
a. Administasi
 Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Hal ini juga terjadi pada Pilkada Kota Pekanbaru lalu juga mempengaruhi masyarakat didalam memberikan hak suaranya. Dimana masih terdapat mayarakat yang tidak mendapatkan undangan dari panitia penyelenggara (petugas KPPS), dan tidak adanya kartu identitas (KTP) kebanyakan masyarakat menambah deretan pemilihyang tidak bisa ikut dalam memberikan hak pilih secara otomatis termasuk kedalam golput. Secara adiministratif KTP merupakan rujukan dalam mendata dan membuat DPT, maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih minimal enam bulan di satu tempat.

 b. Teknis
Faktor teknis dalam hal ini menyangkut hal-hal teknis yang terjdi pada saat hari pemilihan, dimana masyarakat memiliki kesibukan lainnya, sehingga tidak dapat ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan hak suaranya. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Adanya pergantian anggota penyelenggara pemilu dari tingkat KPU hingga KPPS juga menyebabkan adanya permasalahan baru dalam faktor ini, yaitu kurangnya pengalaman penyelenggara (petugas KPPS). lambatnya informasi dan kurang mengerti terhadap aturan-aturan bagi pemilih maupun pemilih tambahan. Masyarakat Kota Pekanbaru khususnya Kecamatan Tampan yang dikenal sebagai daerah industri kecil dan jasa di Kota Pekanbaru. Mayoritas profesi masyarakat Kecamatan Tampan adalah sebagai pedagang, berkebun dan juga bekerja sebagai supir angkutan umum. Hal ini tentunya juga mempengaruhi masyarakat pada saat di hari pemilihan dalam memberikan hak suaranya di TPS.
Pada hari Pemilihan tanggal 21 Mei 2011 maupun pada saat PSU, Kota Pekanbaru meliburkan semua pegawai, begitupula para pelaku usaha meliburkan karyawannya untuk dapat meberikan hak suaranya ke Tempat Pemungutan Suara sesuai dimana mereka terdaftar didalam DPT. Namun untuk para pelaku usaha kecil, seperti pedagang serta supir angkutan umum juga petani, mereka tidak merasakan yang namanya libur.
  
c. Politik
Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting. Hal ini merupakan salahsatu penyebab masyarakat tidak memberikan hak suaranya atau yang biasa kita dengar dengan istilah “golput”. Masyarakat tidak menganggap penting tentang subtansi dari pada memberikan hak suaranya pada setiap Pemilu khusunya Pilkada yang akan menentukan nasib mereka lima tahun kedepan, dimana Kepala Daerah yang terpilih nantinya akan membuat kebijakan-kebijakan yang mau tidak mau harus dijalankan oleh masyarakat, karena kebijakan pemerintah (Kepala Daerah) bersifat mengikat kepada seluruh masyarakat didaerah administrasinya dan bersifat memaksa, dimana setiap masyarakat harus menjalankannya.
Stigma politik itu kotor, kejam, menghalalkan segala cara dan sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat khususnya masyarakat Tampan apalagi proses pemilukada pada Tahun 2011 merupakan proses pemilukada yang banyak menemukan kecurangan dan lain lain hingga terjadi proses gugatan ke mahkamah konstitusi. Perihal seperti iniyang menyebabkan dimana masyarakat menjadi acuh terhadap politik, mekanisme politik sudah bukan merupakan barang baru yang terjadi di Indonesia, begitupula di Kota Pekanbaru khusunya Kecamatan Tampan.


Adapun beberapa hal yang menyebabkan perilaku politik yang cenderung negative tersebut berdasarkan beberapa faktor. Baik faktor internal (dari dalam pribadinya sendiri) maupun faktor eksternal (diluar pribadinya)
  1. Yaitu faktor psikologi: menganggap tidak adanya perubahan signifikan jika ia ikut memberikan hak pilihnya, merasa tidak diuntungkan dalam pemilu tersebut 
  2.  Faktor latar belakang social dan ekonomi , Seperti kesibukan masyarakat bekerja, karena masalah ekonomi yang memaksa ia harus mencari rezeki.
  3. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap calon kandidat dan janji-janji politiknya (kepercayaan politik) yang biasa terjadi pada Pikada,
  4. Kurangnya sosialisasi oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini pemerintah dan KPU. (sistem politik)
  5. kurangnya pendidikan politik, kesadaran tentang esensi dari pentingnya Pemilukada terhadap kelangsungan hidup masyarakat Kecamatan Tampan
  6. Adanya masyarakat yang tidak terdata dalam dalam DPT dan sedang berada diluar kota ketika pemilihan sedang berlangsung
------------------------------------------------------------

PERSPEKTIF PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) KOTA MALANG
Yustinus Usfinit, Agung suprojo, Dody setyawan
Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, universitas tribhuwana tunggadewi

Berdasarkan hasil wawancara antar peneliti dan responden pada saat pengumpulan data peneliti menemukan beberapa factor yang menjadi pendorong partisipasi politik masyarakat kota malang pada saat pemilihan kepala daerah Kota Malang tahun 2013 yakni
  1. Faktor sosok calon. Pesta demokrasi langsung sudah diselenggarakan beberapa kali di indonesia terutama setelah masa orde baru yakni rakyat diberikan kebebasan penuh untuk memilih serta menentukan pemimpin tanpa intimidasi dari pihak manapun hal ini juga yang dirasakan oleh masyarakat Kota Malang. Pesta demokrasi yang seutuhnya diberikan kepada rakyat untuk menentukan pemimpin seringkali disalah gunakan oleh pemimpin terpilih dengan cara mengabaikan kepentingan rakyat dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan untuk membangkitkan partisipasi politik masyarakat dalam pesta demokrasi diperlukan sosok yang mampu melihat serta mendengar kepentingan rakyat 
  2.  Faktor visi dan misi. Masyarakat indonesia dalam tatanan pendidikan bisa dikatakan sudah mengalami peningkatan baik sehingga setiap perkembangan isu selalu diikuti dan dicermati seperti visi dan misi yang diusung oelh para calon juga tidak hanya sekedar didengar tetapi masyarakat mulai mengkaji realisasi dari visi misi para calon.
  3. Faktor Lama Tinggal. Semakin lama seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut. Partisipasi masyarakat Kota Malang cukup besar pada pemilihan kepala daerah tahun 2013 hal ini dikarenaka masyarakat kota malang mayoritas penduduk asli dan masyarakat pendatang yang sudah lama menetap dan menjadi masyarakat Kota Malang,sehingga rasa memiliki terhadap lingkngannya cukup kuat.faktor ini menjadi salah satu penyebab pendorong partisipasi masyarakat. 
  4.  Sosialisasi politik. Sosialisasi politik adalah suatu proses agar setiap individu atau kelompok dapat mengenali sistem politik dan menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap fenomena-fenomena politik. Sosialisasi politik berperan mengembangkan serta memperkuat sikap politik di kalangan warga masyarakat yang sadar politik, yaitu sadar akan hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama. Peranan tersebut melibatkan keluarga, sekolah, dan lembaga-lembaga tertentu yang ada dalam masyarakat. Sosialisasi politik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pilkada sehingga sosialisasi politik perlu melibatkan semua unsur. 
  5.  Kesadaran politik. Kesadaran yang dibentuk melalui pilkada menurut (Oktaviani 2011) sebagai salah satu pendukung partisipasi politik, selain daripada pendidikan politik. Kesadaran politik akan memunculkan peran aktif masyarakat dalam meningkatkan mutu kehidupan dengan melakukan pengawasan ketat atas kebijakan penguasa. Adanya kesadaran politik berarti adanya kesadaran masyarakat tentang bagaimana pengaturan urusan mereka; aturan seperti apa dan siapa yang akan menjalankan aturan tersebut. 
  6.  Pendidikan politik. Pendidikan politk merupakan proses mempengaruhi individu agar dia mendapatkan informasi, wawasan dan ketrampilan politk sehinga sangup bersikap kritis dan lebih intesional terarah hidupnya. Selain itu bisa menjadi warga Negara yang lebih mantap, tidak terapung tanpa bobot dan tanpa pengaruh orientasi terhadap keadaan sendiri dan kondisi lingkunganya. Pendidikan politk menjadi penting bagi masyarakat sebagai upaya penyampaian(penanaman) nilai-nilai pengetahuan dan ideologi warganegara mengenai bagaimana diberlakukanya sistem, regulasi dan kebijakan negara termasuk hal yang dirumuskan oleh kebijakan dan demokrasi politik. Pengetahuan ini penting untuk dimilki masyarakat guna untuk mengenali hak-haknya dalam upaya berpartisipasi menegakan keadilan dan demokrasi. 
  7.  Jumlah TPS dan mudah dijangkau. Lokasi dan jumlah TPS menjadi factor pendorong partisipasi masyarakat Kota Malang pada pemilihan kepala daerah. Dari data yang diperoleh dari KPU Kota Malang jumlah TPS pada pemilihan kepala daerah Kota Malang berjumlah 1.200buah. Jika dibagi ke setiap kelurahan yang ada di Kota Malang maka rata-rata setiap kelurahan terdapat 21 TPS,serta lokasi TPS yang ditempatkan tidak jauh dari pemukiman warga.karena jarak Yang mudah ditempuh serta jumlah TPS yang memadai masyarakat antusias untuk berpartisipasi.
  8. Rasa ingin tahu. Bagi masyarakat pemilih pemula kesempatan ini adalah pengalaman yang pertama dan mereka ingin tahu seperti apa ketika terlibat langsung dalam pemilihan. Hal ini juga menjadi factor pendorong partisipasi masyarakat. Rasa ingin tahu bukan saja dialami oleh pemilih pemula tetapi bagi masyarakat Kota Malang yang sudah beberapa kali ikut dalam pemilihan umum terutama pemilihan kepala daerah kususnya alasan yang mendasar adalah ingin mengetehui kinerja dari para calon kepalah daerah yang akan terpilih.
-----------------------------------------------------------


ANALISIS PENYEBAB MASYARAKAT TIDAK
MEMILIH DALAM PEMILU

Bismar Arianto1
Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011


Kata golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan. Fenomena golput sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu.Biasanya mereka tidak datang ke tempat pemungutan suara. Sedangkan di era Orde Baru, golput lebih diartikan sebagai gerakan moral untuk memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis oleh penguasa saat itu. Golput tidak hanya terjadi dalam pemilu legislatif. Dalam perhelatan politik di tingkat lokal
seperti pemilihan umum kepala daerah (pilkada) gejala golput juga terjadi. Dalam pilkada Gubernur Kepulauan Riau dari data quick count yang dilakukan LSI golput mencapai angka 50%. Pilkada Batam 2011 angka masyarakat yang tidak memilih melebihi angka 50 %, kasus yang sama juga terjadi di Kabupaten Karimun di atas 40% dipastikan tidak menggunakan hak pilih. Fenomena semakin banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih juga terjadi di daerah lain di Indonesia.

Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Berdasarkan hasil penelitianan yang dilakukan oleh Tauchid Dwijayanto ada tiga faktor utama yang menyebabkan tingginya angka golput dalam Pilgub Jateng 2008-2013 di Kota Semarang yaitu ;
  1. Masih lemahnya sosialisasi tentang Pilgub Jawa Tengah. Dari temuan penelitian tersebut di tegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang serta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinyatakan masih sangat kecil peranannya dalam rangka mensosialisasikan pengetahuan tentang pelakasanaan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah.
  2.  Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi. Tauchid Dwijayanto mengatakan bahwa maka mayoritas responden lebih memilih untuk bekerja dari pada datang ke TPS memberikan suara, karena faktor ekonomi dimana masyarakat lebih memilih bekerja dari pada hilang pengasilannya dari pada hadir di TPS yang berdampak pada berkurangnya penghasilan, sementara tuntutan ekonomi keluarga semakin kuat 
  3. Sikap apatisme terhadap pemilihan gubernur. Hasil temuan penelitian Tauchid Dwijayanto mengatakan mayoritas responden (67%) menganggap bahwa dengan dilaksanakannya Pilgub ini tidak akan membawa perubahan apapun baik terhadap provinsi maupun kehidupan mereka. Menurut mereka perhelatan semacam Pilgub ini hanyalah sebuah rutinitas politik saja tanpa menjanjikan suatu perubahan yang berarti.
Peneliti lain yang membahas tentang fenomoena golput adalah Efniwati, penelitiannya berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Hak Pilih pada Pemilihan Presiden 2009 di Kota Dumai (Studi Kasus di Kecamatan Dumai Timur dan Kecamatan Sei. Sembilan). Temuan kajian Efniwati yang dilakukan di dua kelurahan di Kota Dumai untuk perilaku masyarakat tidak memilih menunjukkan ada dua faktor yang kuat mempengaruhi masyarakat. Faktor pekerjaan responden adalah faktor yang paling dominan mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya di Kelurahan Sukajadi yaitu sebesar 16,9%, sedangkan di Kelurahan Bangsal Aceh faktor lokasi TPS (X12) adalah faktor yang paling dominan mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada Pilpres 2009 yaitu sebesar 15,9%.  Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat atau penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama, administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting. Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya (Eriyanto ; 2007)

Analisa Penyebab Golput
Merujuk pedapat Arbi Sanit golput dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Sedangkan menurut Novel Ali dapat di bagi dua kelompok golput awam dan kelompok golput pilihan. Secara lebih detail diuraikan oleh Eep Saefulloh Fatah golput teknis, golput teknis-politis golput politis dan golput ideologis. Dalam pemahaman penulis faktor yang menyebabkan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya secara sederhana dapat di klasifikasikan kedalam dua kelompok besar yaitu faktor dari internal pemilih dan faktor ekternal. Faktor internal yang penulis maksud adalah alasan pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan ekternal alasan tersebut datang dari luar dirinya.
  1. Faktor Internal. Menunjukkan tiga alasan yang datang dari individu pemilih yang mengakibatkan mereka tidak menggunakan hak pilih. Diantaranya alasan teknis dan pekerjaan pemilih.
                            a.      Faktor Teknis.  Faktor teknis yang penulis maksud adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Faktor teknis ini dalam pemahaman dapat di klasifikasikan ke dalam dua hal yaitu teknis mutlak dan teknis yang bisa di tolerir. Teknis mutlak adalah kendala yang serta merta membuat pemilih tidak bisa hadir ke TPS seperti sakit yang membuat pemilih tidak bisa keluar rumah. Sedang berada di luar kota. Kondisi yang seperti yang penulis maksud teknis mutlak. Teknis yang dapat di tolerir adalah permasalahan yang sifatnya sederhana yang melakat pada pribadi pemilih yang mengakibat tidak datang ke TPS. Seperti ada keperluan keluarga, merencanakan liburan pada saat hari pemilihan. Pada kasus-kasus seperti ini dalam pemahaman penulis pemilih masih bisa mensiasatinya, yaitu dengan cara mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilih terlebih dahulu baru melakukan aktivitas atau keperluan yang bersifat pribadi. Pemilih golput yang karena alasan teknis yang tipe kedua ini cenderung tidak mengetahui essensi dari menggunakan hak pilih, sehingga lebih mementingkan kepentingan pribadi dari pada menggunakan pilihnya. Pemilih ideal harus mengetahui dampak dari satu suara yang diberikan dalam pemilu. Hakikatnya suara yang diberikan itulah yang menentukan pemimpin lima tahun mendatang. Dengan memilih pemimpin yang baik berarti pemilih berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik pula.
                           b.      Faktor Pekerjaan. Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam pemahaman penulis memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 dari 107,41 juta orang yang bekerja, paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang (39,88 persen), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54 persen). Data yang hampir sama di Provinsi Kepuluan Riau berdasarkan Data BPS 2010, sebanyak 31,9% penduduk bekerja di sektor industri, sektor jasa kemasyarakatan sebesar 20,7%, sektor perdagangan sebesar 18,18% dan pertanian dan perkebunan 13,5%. Data di atas menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan. Seperti tukang ojek, buruh harian, nelayan, petani harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat yang mengharuskan mereka untuk meninggal tempat tinggalnya seperti para pelaut, penggali tambang. Kondisi seperti membuat mereka harus tidak memilih, karena faktor lokasi mereka bekerja yang jauh dari TPS. Maka dalam pemahaman penulis faktor pekerjaan cukup singifikan pada pada faktor internal membuat pemilih untuk tidak memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang yang penghasilannya atau pergi bekerja dan tidak memilih.


2.  Faktor Eksternal. 
Faktor ektenal faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Ada tiga yang masuk pada kategori ini menurut pemilih yaitu aspek administratif, sosialisasi dan politik.
                         a.        Faktor Administratif. Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika kondisi yang seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam kategori golput. Faktor berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena secara administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT. Maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat. Golput yang diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para petugas pendata pemilih melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk mendatangi rumah-rumah pemilih. Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk mendatangi petugas pendataan untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara) harus tempel di tempat-tempat strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga harus berinisiatif melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar segara melopor ke pengrus RT atau petugas pendataan. Langkah berikut untuk menimalisir terjadi golput karen aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan data kependudukan berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E KTP) yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif dalam menimalisir golput administratif.
                        b.         Sosialisasi. Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/RW. Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini menuntut perlunya sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan berikut yang menuntut perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara pemilu sebelum reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru hanya memilih lambang partai sementara sekarang selian memilih lambang juga harus memilih nama salah satu calon di pertai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada pemilu 2009 dimana kita tidak lagi mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara menandai. Kondisi ini semualah yang menuntu pentingnya sosialisasi dalam rangka menyukseskan pelaksanaan pemilu dan memenimalisir angka golput dalam setiap pemilu. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di pedesaan maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai pentingi, apalagi bagi masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka golput.
                         c.         Faktor Politik. Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.
Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya di bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik (fatsoen). Politik pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang seperti penulis uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian Masyarakat semakin tidak yakin dengan politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.
Penutup
Angka masyarakat yang tidak memilih atau golput dari pemilu ke pemilu terus meningkat. Dari pembahasan tulisan ini tergambar setidaknya ada lima faktor yang membuat orang tidak memilih mulai dengan faktor teknis dan pekerjaan merupakan faktor internal serta faktor ekternal yang terdiri dari administratif, sosialisasi dan politik. Kelima faktor ini berkontribusi terhadap meningkatnya angka golput.
Harus ada upaya yang maksimal untuk memenimalisir meningkatnya angka masyarakat yang tidak memilih dalam pemilu. Karena kualitas pemilu secara tidak langsung juga dilihat dari legitimasi pemimpin yang terpilih. Semakin kuat dukungan rakyat semakin kuatlah tingkat kepercayaan rakyat.
--------------------------------------------------------------------------------------------





 Alhamdullilah akhirnya bisa diakses juga....💘💗💖💕