IBNU RUSYD
Oleh : Lukman, S.Pd
(Sumber : https://kurikulumberbasis.files.wordpress.com/.../ibnu-..)
(Sumber : https://kurikulumberbasis.files.wordpress.com/.../ibnu-..)
Ibnu Rusyd (Ibnu Rushdi, Ibnu Rusyid, 1126 - Marrakesh, Maroko, 10 Desember 1198) dalam bahasa Arab dan dalam bahasa Latin Averroes, adalah seorang filsuf dari Spanyol (Andalusia).
Sejarah SingkatAbu Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Kota ini menyimpan banyak kenangan dan kebanggaan. Kejayaan kota tersebut dapat disejajarkan dengan kota metropolitan lainnya, seperti Baghdad, Athena, Alexandria dan Roma. Salah satu keistemawaan Cordoba adalah perhatian yang cukup besar terhadap kebudayan dan ilmu pengetahuan. Ibnu khaldun pernah mengungkapkan, al-Muntashir Billah (julukan ibnu rusyd) merupakan seorang pemimpin yang mempunyai perhatian besar terhadap kepustakaan. Buktinya, ia mengirimkan dana cukup besar untuk kepentingan belanja buku, baik dari pengarangnya langsung maupun melalui para ajudannya. Sedangkan Ibnu Zahar, teman dekat Ibnu Rusyd mengisahkan, apabila sorang penduduk Sevilla meninggal dunia dan ingin menjual buku-buku peninggalannya hendaklah pergi ke Cordoba. Sedangkan jika pemusik asal Cordoba meninggal dunia dan ingin menjual alat-alat musiknya hendaklah pergi ke Sevilla. Kisah ini hendak hendak menyatakan bahwa Cordoba merupakan salah satu kota ilmu, sedang Sevilla adalah kita seni, terutama seni musik yang memang ketika itu berkembang cukup pesat. Kondisi objektif kota kebudayaan tersebut telah memacu minat ibnu Rusyd terhadap ilmu pengetahuan.
Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja.
Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang mempengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.
Pemikiran Ibnu Rusyd
Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan resume. Hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada.
Filsafat Ibnu Rusyd ada dua, yaitu filsafat Ibnu Rusyd seperti yang dipahami oleh orang Eropa pada abad pertengahan; dan filsafat Ibnu Rusyd tentang akidah dan sikap keberagamaannya.
Disamping itu, buah pemikiran Ibnu Rusyd. Sejak delapan abad lalu, Ibnu Rusyd sedah mengingatkan kita tentang pentingnya filsafat. Sebagai seorang filsuf, tabib, dan ulama, Ibnu Rusyd sebenarnya telah memberikan jalan kepada kita untuk menjadi sorang Muslim Progresif. Menurutnya, seorang muslim yang baik adalah yang bias merepresentasikan zaman, di saat dan dimana ia hidup. Seorang muslim harus menggunakan akalnya agar tidak terbelakang. Karena itu tak heran jika pandangan-pandangan Ibnu Rusyd senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan kita, sebagaimana tercermin dalam beberapa hal berikut:
1) Pluralisme dalam ijtihad.
Ibnu Rusyd adalah seorang hakim agama (qadhy) di Sevilla (1169) dan Kepala Hakim Agama di Cordoba (1182). Dalam kapasitasnya sebagai pemilik otoritas dalam masalah keagamaan, Ibnu Rusyd tidak serta merta menggunakan otoritas tersebut sebagai tangan besi untuk menyimpulkan sebuah hukum secara hitam-putih. Dalam ranah hokum Islam (fiqh), ia seringkali menekankan pentingnya keragaman ijtihad. Ibnu Rusyd sebenarnya ingin memberikan pelajaran berharga, bahwa elemen terpenting dalam fikih ialah menguraikan dimensi moral etik di balik hokum dan memahami proses ijtihad. Artinya, setiap hokum yang akan difatwakan sejatinya dapat dipertimbangkan kemaslahatan umum.
2) Kebebasan dan tradisi kritik
Ibnu Rusyd hidup di masa kegelapan dan terpasungnya kebebasan berpikir. Saat itu, filsafat dikubur hidup-hidup, terutama setelah difatwa sesat (kafir’) dan rancu (muthafit) oleh Imam al-Ghazali dalam Thahafut al-Falasifah. Karena itu, langkah Ibnu Rusyd kemudian adalah mengkritisi sejumlah kitab yang selama ini mengharamkan filsafat dengan menulis kitab bertajuk Tahafut at-Tahafut seraya mengeluarkan fatwa “pentingnya berpikir dan berfilsafat”, sebagaimana ditulis secara satir di kitab Fashi al-Maqal fi ma bayna al-Hikmah wa asy-Syari’ah min al-Ittishal. Menurutnya. Ibnu Rusyd menambahkan, persoalan kalam (teologi) semestinya tidak melulu didekati dengan pendekatan tekstual, melainkan juga dengan filsafat, yaitu melalui mekanisme takwil yang berlandaskan analogi demonstrative (al-qiyas al-burhany). Atas dasar itu, Ibnu Rusyd menolak pengkafiran terhadap kaum filsuf, karena filsafat dan pikir merupakan ajaran Islam yang otentik.
Ibnu Rusyd kerapkali melancarkan kritik terhadap para ulama, baik yang hidup pada masa sebelumnya maupun yang semasa dengannya. Kritiknya ini dilancarkan bukan demi menjatuhkan lawan, seperti dilakukan kaum sofis dalam tradisi yunani atau kaum teolog (mutakallimun) dalam tradisi Islam. Kritik Ibnu Rusyd ialah dalam rangka meluruskan paradigma berpikir. Ketika mengkritik kalangan Asy’arinyah misalnya, Ibnu Rusyd amat meyangkan penggunaan inderawi terhadap sesuatu yang abstrak. Paradigma seperti ini, bagi Ibnu Rusyd, sama sekali tidak bisa dibenarkan, karena hal-hal transenden tidak bisa disentuh dengan indera manusia. Dalam banyak hal kalangan Asy’ariyah telah terjebak dalam kekeliruan paradigmatic.
3) Dialog Antaragama
Ibnu Rusyd menghendaki agar filsafat dijadikan jembatan untuk menerima kebenaran dari pihak lain, bahkan yang berbeda sekalipun. Di kitab Fashl al Maqal fi ma bayna al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittisal Ibnu Rusyd menulis, “jika kita menemukan kebenaran dari mereka yang berbeda agama, kita mesti menerima dan menghormatinya”. Ibnu Rusyd memandang bahwa perbedaan agama tidaklah menjadi penghalang untuk membangun jembatan dialog.
Kunci dari keterbukaan Ibnu Rusyd untuk melakukan dialog dengan umat-umat lain adalah kecenderungannya pada filsafat. Karena filsafat baginya merupakan salah satu pintu menuju kearifan dan kemuliaan hidup.
4) Kontrol atas kebijakan politik
Hal penting yang mendarah daging dalam karakter Ibnu Rusyd adalah control terhadap kebijakan peguasa. Menurutnya, otoritarianisme berpotensi membunuh kepentingan kolektif. Karena itu, ia selalu berbeda pendapat dengan khalifah, bahkan tak jarang memanggil sang khalifah dengan “wahai saudaraku”. Dan sikap seperti inilah yang menjadi satu dari beberapa sebab kenapa ibnu Rusyd mengalami inkuisi (mihnah fikriyah) dan diasingkan oleh khalifah Lucena, kepulauan Atlantik, 1195. Dari sini, catatan terpenting adalah perlunya control terhadap penguasa.
Ibnu Rusyd mempunyai harapan agar politik tidak hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan. Perebutan kekuasaan bukanlah fenomena asing pada waktu itu. System politik umat Islam yang dibangun di atas system klan telah memunculkan perebutan kekuasaan yang amat dahsyat. Sementara itu, umat Islam tidak mempunyai filsafat politik yang baik untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Ketika para ulama terseret untuk hanya focus belajar ilmu-ilmu agama, maka ilmu-ilmu social yang berkaitan dengan ilmu tata masyarakat cenderung diabaikan.
Karya
• Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih)
• Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran)
• Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (filsafat dalam Islam dan menolak segala paham yang bertentangan dengan filsafat)
Daftar Pustaka
• http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Rusyd
• Zuhairi Misrawi, Ibnu Rusyd “Gerbang Pencerahan Timur dan Barat”, PPPM : Jakarta, 2007
Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan resume. Hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada.
Filsafat Ibnu Rusyd ada dua, yaitu filsafat Ibnu Rusyd seperti yang dipahami oleh orang Eropa pada abad pertengahan; dan filsafat Ibnu Rusyd tentang akidah dan sikap keberagamaannya.
Disamping itu, buah pemikiran Ibnu Rusyd. Sejak delapan abad lalu, Ibnu Rusyd sedah mengingatkan kita tentang pentingnya filsafat. Sebagai seorang filsuf, tabib, dan ulama, Ibnu Rusyd sebenarnya telah memberikan jalan kepada kita untuk menjadi sorang Muslim Progresif. Menurutnya, seorang muslim yang baik adalah yang bias merepresentasikan zaman, di saat dan dimana ia hidup. Seorang muslim harus menggunakan akalnya agar tidak terbelakang. Karena itu tak heran jika pandangan-pandangan Ibnu Rusyd senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan kita, sebagaimana tercermin dalam beberapa hal berikut:
1) Pluralisme dalam ijtihad.
Ibnu Rusyd adalah seorang hakim agama (qadhy) di Sevilla (1169) dan Kepala Hakim Agama di Cordoba (1182). Dalam kapasitasnya sebagai pemilik otoritas dalam masalah keagamaan, Ibnu Rusyd tidak serta merta menggunakan otoritas tersebut sebagai tangan besi untuk menyimpulkan sebuah hukum secara hitam-putih. Dalam ranah hokum Islam (fiqh), ia seringkali menekankan pentingnya keragaman ijtihad. Ibnu Rusyd sebenarnya ingin memberikan pelajaran berharga, bahwa elemen terpenting dalam fikih ialah menguraikan dimensi moral etik di balik hokum dan memahami proses ijtihad. Artinya, setiap hokum yang akan difatwakan sejatinya dapat dipertimbangkan kemaslahatan umum.
2) Kebebasan dan tradisi kritik
Ibnu Rusyd hidup di masa kegelapan dan terpasungnya kebebasan berpikir. Saat itu, filsafat dikubur hidup-hidup, terutama setelah difatwa sesat (kafir’) dan rancu (muthafit) oleh Imam al-Ghazali dalam Thahafut al-Falasifah. Karena itu, langkah Ibnu Rusyd kemudian adalah mengkritisi sejumlah kitab yang selama ini mengharamkan filsafat dengan menulis kitab bertajuk Tahafut at-Tahafut seraya mengeluarkan fatwa “pentingnya berpikir dan berfilsafat”, sebagaimana ditulis secara satir di kitab Fashi al-Maqal fi ma bayna al-Hikmah wa asy-Syari’ah min al-Ittishal. Menurutnya. Ibnu Rusyd menambahkan, persoalan kalam (teologi) semestinya tidak melulu didekati dengan pendekatan tekstual, melainkan juga dengan filsafat, yaitu melalui mekanisme takwil yang berlandaskan analogi demonstrative (al-qiyas al-burhany). Atas dasar itu, Ibnu Rusyd menolak pengkafiran terhadap kaum filsuf, karena filsafat dan pikir merupakan ajaran Islam yang otentik.
Ibnu Rusyd kerapkali melancarkan kritik terhadap para ulama, baik yang hidup pada masa sebelumnya maupun yang semasa dengannya. Kritiknya ini dilancarkan bukan demi menjatuhkan lawan, seperti dilakukan kaum sofis dalam tradisi yunani atau kaum teolog (mutakallimun) dalam tradisi Islam. Kritik Ibnu Rusyd ialah dalam rangka meluruskan paradigma berpikir. Ketika mengkritik kalangan Asy’arinyah misalnya, Ibnu Rusyd amat meyangkan penggunaan inderawi terhadap sesuatu yang abstrak. Paradigma seperti ini, bagi Ibnu Rusyd, sama sekali tidak bisa dibenarkan, karena hal-hal transenden tidak bisa disentuh dengan indera manusia. Dalam banyak hal kalangan Asy’ariyah telah terjebak dalam kekeliruan paradigmatic.
3) Dialog Antaragama
Ibnu Rusyd menghendaki agar filsafat dijadikan jembatan untuk menerima kebenaran dari pihak lain, bahkan yang berbeda sekalipun. Di kitab Fashl al Maqal fi ma bayna al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittisal Ibnu Rusyd menulis, “jika kita menemukan kebenaran dari mereka yang berbeda agama, kita mesti menerima dan menghormatinya”. Ibnu Rusyd memandang bahwa perbedaan agama tidaklah menjadi penghalang untuk membangun jembatan dialog.
Kunci dari keterbukaan Ibnu Rusyd untuk melakukan dialog dengan umat-umat lain adalah kecenderungannya pada filsafat. Karena filsafat baginya merupakan salah satu pintu menuju kearifan dan kemuliaan hidup.
4) Kontrol atas kebijakan politik
Hal penting yang mendarah daging dalam karakter Ibnu Rusyd adalah control terhadap kebijakan peguasa. Menurutnya, otoritarianisme berpotensi membunuh kepentingan kolektif. Karena itu, ia selalu berbeda pendapat dengan khalifah, bahkan tak jarang memanggil sang khalifah dengan “wahai saudaraku”. Dan sikap seperti inilah yang menjadi satu dari beberapa sebab kenapa ibnu Rusyd mengalami inkuisi (mihnah fikriyah) dan diasingkan oleh khalifah Lucena, kepulauan Atlantik, 1195. Dari sini, catatan terpenting adalah perlunya control terhadap penguasa.
Ibnu Rusyd mempunyai harapan agar politik tidak hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan. Perebutan kekuasaan bukanlah fenomena asing pada waktu itu. System politik umat Islam yang dibangun di atas system klan telah memunculkan perebutan kekuasaan yang amat dahsyat. Sementara itu, umat Islam tidak mempunyai filsafat politik yang baik untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Ketika para ulama terseret untuk hanya focus belajar ilmu-ilmu agama, maka ilmu-ilmu social yang berkaitan dengan ilmu tata masyarakat cenderung diabaikan.
Karya
• Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih)
• Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran)
• Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (filsafat dalam Islam dan menolak segala paham yang bertentangan dengan filsafat)
Daftar Pustaka
• http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Rusyd
• Zuhairi Misrawi, Ibnu Rusyd “Gerbang Pencerahan Timur dan Barat”, PPPM : Jakarta, 2007