Zaman gua SMP dulu, ada satu novel yang tidak sempat terselesaikan dibaca berhubung jadwal ujian akhir sekolah dan gua musti memulangkan buku tersebut karena untuk pengambilan ijazah, gua diharuskan tidak ada sangkut paut ama perpustakaan soal pinjam meminjam buku dan akhirnya gua lupa..... Novel Sekayu karya NH. Dini, terlebih sebenarnya juga gua penasaran ama profil pengarangnya, NH. Dini....
----------------------------------------------------------
"Sekayu"
Sumber : http://estafetsenja.blogspot.co.id/2014/04/sastra-kenangan-nh-dini.html
Bercerita kehidupan Dini
beserta keluarganya setelah Indonesia merdeka. Kehidupan mereka mulai mengalami
perubahan yang baik, keluarganya kembali berkumpul. Tetapi dalam waktu yang tak
lama setelah kebahagiaan itu terasa, Ayahnya meninggal karena sakit yang
dideritanya.
Kehilangan sosok kepala
keluarga membuat suasana keluarga jauh berbeda, bukan hanya masalah
perekonomian, namun mereka mengalami kesepian ketika tersirat dalam benak
senyum, canda dan tawa yang selalu Ayah mereka berikan dalam sela-sela waktu.
Masalah perekonomian yang mereka alami masih sanggup Ibu tangani dengan hasil
perkebunan, sewa pondokan dan bantuan kakak ipar Dini, Utomo, yang memang tak
seberapa jika dibandingkan ketika Ayahnya masih ada.
Ketika SD, Dini telah di
didik Ibunya untuk menjadi orang yang sederhana, sepeda yang ia gunakan untuk
pergi ke sekolah adalah sepeda bekas Ayahnya, merupakan sepeda laki-laki yang
berpostur tinggi dengan stang melintang antara kemudi dengan jok. Tentu saat
itu Dini menginginkan sepeda yang memang khusus untuk perempuan seperti usia
teman perempuan sebayanya, namun dengan nasehat Ibunya yang mengatakan “Sepeda
hanyalah alat, bukan untuk gaya atau untuk bermewah-mewah” gugurlah keinginan
Dini mencoba mengerti keadaan perekonomian mereka. Setelah lulus SD, Dini
melanjutkan ke sekolah lanjutan, Ia mulai mengasah kemampuannya dalam menulis
dan mengarang, Ia sering mengirimkan karyanya ke Radio Republik Indonesia,
kemudian Ia di angkat sebagai penyiar yang akan membacakan karya-karyanya
sendiri. Dari siaran tersebut Dini sudah bisa mendapatkan penghasilan yang
lumayan bisa membantu perekonomian keluarganya.
Ketika Ia beranjak dewasa,
mulailah Ia dalam pengembaraannya mencari cinta untuk memenuhi hasrat
manusiawinya, berkali-kali ia mengalami kegagalan dalam pengembaraannya, antara
lain dengan beberapa lelaki bernama Dirga, mas Nur, Marso dan lain sebagainya.
Malangnya nasib Dini dalam bercinta agaknya tak berlaku bagi kakaknya Maryam
yang telah mendapatkan jodoh dan melangsungkan pernikahan.
Itulah akhir cerita dari
novel “Sekayu”, berakhir kebahagiaan kakaknya yang tentu Dini pun ikut terbawa
dalam suasana kebahagiaan tersebut, meskipun Ia belum menemukan kebahagiaan
cintanya.
Novel yang sederhana, namun
memiliki pesan moral yang tinggi, diantaranya, jadilah manusia yang sederhana
dengan keadaan yang tidak bermewah-mewahan, karena hakekat hidup ini adalah
bagaimana kita bisa menjalani hidup dengan keadaan yang apa adanya dan mencoba
bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan.
-------------------------------------------------
Profil NH. Dini
Sumber : http://profil.merdeka.com/indonesia/n/nurhayati-sri-hardini-siti-nukatin
Nurhayati Sri Hardini Siti
Nukatin atau yang lebih akrab disapa NH Dini merupakan sastrawan, novelis,
dan feminis Indonesia. Perempuan yang hanya bisa merayakan ulang tahunnya
empat tahun sekali ini gemar menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya
penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya
sendiri.
Dini merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara yang ditinggal wafat oleh bapaknya ketika dia masih SMP. Semenjak itu Dini sering terlihat melamun dan sering mencurahkan kegelisahannya dalam tulisan-tulisannya. Karya-karya yang telah ditelurkan oleh perempuan yang konon berdarah Bugis ini antara lain adalah puisi, kumpulan cerpen, novel, dan biografi.
Dini telah menjadi pengarang selama hampir 60 tahun, akan tetapi ia baru menerima royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari baru-baru ini. Tahun-tahun sebelumnya ia mengaku masih menjadi parasit dan sering dibantu oleh teman-temannya untuk menutupi biaya makan dan pengobatan. Dini pernah sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Gubernur Jawa tengah saat itu, Mardiyanto, membantu biaya pengobatan Dini.
Dini sempat menikah dengan Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960 dan beberapa kali berpindah tempat tinggal dari negara satu ke negara yang lain. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang dan Pierre Louis Padang. Setelah bercerai, Dini kembali ke Indonesia dan tidak berhenti berkarya. Anak sulung Dini kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis. Sementara Dini tinggal di Panti Wredha Langen Wedharsih, Ungaran.