Thursday, August 11, 2016

Sutardji Calzoum Bachri - Idrus Tintin

Dulu waktu gua SMP, di buku Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (kalau ngak salah), gua membaca puisi beliau. Sutardji Calzoum Bachri..ternyata beliau berasal dari Riau. Dan dulu gua baca puisinya berjudul "batu".... Dan waktu gua SMA, gua pernah punya guru Bahasa Indonesia dan beliau pernah masuk ke kelas gua, Biologi memberikan pelajaran sebentar, hanya sekali aja waktu itu selebihnya teman-teman gua di Lokal Sosial yang puas belajar sama beliau. Beliau terkenal sebagai seniman Riau juga yakni Idrus Tintin. 


----------------------------------------------
Sutardji Calzoum Bachri
Sumber :  https://aksarasastra.wordpress.com/category/teras-aksarasastra/biografi-sutardji-calzoum-bachri/

Sutardji Calzoum Bachri dengan sapaan akrab Bung Tardji, lahir di Rengat, Indragiri Hulu, pada tanggal 24 Juni 1941. Sutardji C. Bachri merupakan putra dari pasangan Mohammad Bachri yang berasal dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah dan May Calzum yang berasal dari Tanbelan, Riau. Beliau diberi gelar sebagai “Presiden Penyair Indonesia”. Bung Tardji dikenal sebagai sastrawan pelopor puisi kontemporer. “Dalam Puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor serta penjajahan gramatika. Bila kata dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian tiba-tiba karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tidak terduga sebelumnya, yang kreatif.” Itulah yang diungkapkan Sutardji Calzoum Bahri pada dalam kredo puisinya yang terkenal pada tanggal 30 Maret 1973.

Kekontemporeran karya Sutardji Calzoum Bachri semakin dipertegas dengan perkataanya selanjutnya, yaitu, “dalam Puisi saya, kata-kata, saya biarkan bebas dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan dirinya sendiri dengan bebas, saling bertentangan satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya menolak dan berontak terhadap pengertian yang dibebankan kepadanya.” (GUA SUKA BANGET !)

Pada tahun 1947 beliau masuk ke sekolah rakyat (SD) dan selesai pada tahun 1953 di Bengkalis – Pekanbaru. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengah Pertama Negeri di Tanjungpinang, Riau. Sutardji Calzoum Bachri mengecap pendidikan tertingginya hingga tingkat doktoral di Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Selain mengikuti pendidikan formal, Sutardji juga turut serta dalam pendidikan nonformal seperti; peserta Poetry Reading International di Rotterdam pada tahun 1974., kemudian mengikutiInternational Writing Program pada tahun 1975 di IOWA City Amerika Serikat selama satu tahun (Okober 1974 – April 1975) bersama Kiai Haji Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail. Empat tahun kemudian (1979) Sutardji Calzoum Bahri diangkat sebagai redaktur majalah sastra Horizon, namun setelah beberapa tahun kemudian, ia memutuskan untuk keluar dari Horizon. Kemudian pada tahun 2000-2002 Sutardji Calzoum Bachri menjadi penjaga ruangan seni “Bentara”, khususnya menangani puisi pada harian Kompas. Beliau juga pernah mengikuti penataran P4 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun 1984, dan lulus sebagai peringkat pertama dari 10 orang terbaik.
Awal mula masuknya Sutardji Calzoum Bachri ketika ia mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Selain itu, Bung Tardji mulai mengirimkan sajak-sajaknya ke koran lokal seperti Pikiran Rakyat di Bandung, dan Haluan di Padang. Sejak saat itulah Sutardji Calzoum Bachri mulai diperhitungkan sebagai penyair di Indonesia.
Dalam mempertunjukkan karyanya kepada pecinta sastra, beliau tidak ragu untuk menunjukkan totalitasnya di atas panggung. Ia juga berusaha ditiap penampilannya untuk tidak hilang kontak dengan penonton. ”Kehadiran sajak itu harus akrab dengan penonton, tak berjarak dengan kehidupan,” begitulah kata Bung Tardji mengenai keakrabannya dengan penonton dalam mempertunjukkan rasa kedekatannya. Ia juga tidak segan memeragakan puisinya hingga berguling-guling di atas panggung. Gayanya yang jumpalitan di atas panggung, bahkan berpuisi sambil tiduran dan tengkurap, seperti telah menempel menjadi trade mark Sutardji. ”Aku tak pernah main-main sewaktu membikin sajak, aku serius. Tapi, ketika tampil aku berusaha apa adanya, santai namun memiliki arti,” katanya.
Karya Sastra Sutardji Calzoum Bachri:
Beberapa karya Puisi Sutardji Calzoum Bachri:
1. O (Kumpulan Puisi, 1973),
2. Amuk (Kumpulan Puisi, 1977), dan
3. Kapak (Kumpulan Puisi, 1979).
Kumpulan puisnya, Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh Sinar Harapan.
Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara lain:
1. Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976),
2. Writing from The Word (USA),
3. Westerly Review (Australia),
4. Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975),
5. Ik Wil Nogdulzendjaar Leven, Negh Moderne Indonesische Dichter (1979),
6. Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977),
7. Parade Puisi Indonesia (1990),
8. Majalah Tenggara,
9. Journal of Southeast Asean Lietrature 36 dan 37 (1997), dan
10.Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002).
Sutardji selain menulis puisi juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang sudah dipublikasikan adalah Hujan Menulis Ayam (Magelang, Indonesia Tera:2001). Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi “Bentara”. Sutardji juga menulis kajian sastra untuk keperluan seminar. Sekarang sedang dipersiapkan kumpulan esai lengkap dengan judul “Memo Sutardji”
Penghargaan:
Penghargaan yang pernah diraihnya adalah:
Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand (1979);
Menerima penghargaan Sastra Kabupaten Kepulauan Riau oleh Bupati Kepulauan Riau (1979);
Anugrah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993);
Menerima Anugrah Sastra Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jakarta. (1990an);
Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan
Dianugrahi gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).



MANTERA
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

                    lima percik mawar
                    tujuh sayap merpati
                    sesayat langit perih
                    dicabik puncak gunung
                    sebelas duri sepi
                    dalam dupa rupa
                    tiga menyan luka
                    mengasapi duka
                    puah!
                    kau jadi Kau!
                    Kasihku

TAPI
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

        aku bawakan bunga padamu
                                                        tapi kau bilang masih
        aku bawakan resahku padamu
                                                        tapi kau bilang hanya
        aku bawakan darahku padamu
                                                        tapi kau bilang cuma
        aku bawakan mimpiku padamu
                                                        tapi kau bilang meski
        aku bawakan dukaku padamu
                                                        tapi kau bilang tapi
        aku bawakan mayatku padamu
                                                        tapi kau bilang hampir
        aku bawakan arwahku padamu
                                                        tapi kau bilang kalau
        tanpa apa aku datang padamu
                                                        wah !
BATU
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

        batu mawar
        batu langit
        batu duka
        batu rindu
        batu janun
        batu bisu
        kaukah itu
                      teka teki yang tak menepati janji ?

    Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
    hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
    seribu beringin ingin tak teduh.  Dengan siapa aku mengeluh?
    Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
    diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai
    sedang lambai tak sampai.  Kau tahu
        batu risau
        batu pukau
        batu Kau-ku
        batu sepi
        batu ngilu
        batu bisu
        kaukah itu
                                teka teki yang tak menepati janji ? 
-------------------------------------------------------------------
Idrus Tintin
Sumber : http://www.jendelasastra.com/wawasan/pokok-dan-tokoh/idrus-tintin
 Kronologis Hidup dan Kesenimanan

1932
10 November, lahir di Rengat, Riau, kemudian Idrus di bawa orang tuanya pindah ke Tarempa, Kepulauan Riau dan kemudian masuk Sekolah Rakyat di Tarempa.
1941
Pindah ke Tanjung Pinang, Idrus Tintin melanjutkan Sekolah Rakyat tidak selesai. Tinggal di asrama Dai Toa (asrama penampungan anak-anak yatim paitu). Semenjak tinggal di asrama inilah Idrus Tintin mulai mengenal dunia drama. Salah satu grup drama pimpinan Raja Khatijah terpilihlah Idrus Tintin
Bersama Hasan Basri, untuk berperan: dalam satu pertunjukan drama bahasa Jepang di Gedung Daerah Tanjung Pinang (sekarang).

1943
Bekerja di sentral telepon perusahaan Okabutai milik pemerintahan pendudukan Jepang di Tanjung Pinang.
Jadi pemeranan dalam pertunjukan drama pendek ide cerita Noserang mengenai kehidupan petani yang hidup melarat.

1945
Pindah ke Tembilahan dan masuk Sekolah SMP Muhammadiyah, tidak selesai.. Beramain teater sebagai Piguran bersama grup drama Agus Moeis dan Hasbullah.

1947
Pindah ke Rengat dan melanjutkan Sekolah SMP. Masa-masa sekolah di Rengat setiap ada kesempatan, Idrus selalu saja bermain teater.1948 Idrus masuk tentara pangkat prajurit.
1950 Pindah ke Tanjung Pinang dan bekerja sebagai Staf Angkatan Darat.
1952 Pindah ke Tarempa Idrus Tintin mendirikan grup sandiwara ?Gurinda?.
1954 Masuk Pegawai Negeri sampai menjadi Kepala Kantor Sosial Kewedanan Pulau Tujuh.
1957 Idrus Tintin yang bergemilang dengan kesenian dan masih mencari identitas diri maka dipindahkan ke Tanjung Pinang dan kemudian meninggalkan tugas pegawai negeri.
1958 Bersama Hanafi Harun membentuk kelompok teater non formal di Tanjung Pinang dan tampil berpuluh kali. Beberapa cerita yang dimainkan yaitu Buih dan Kasih Sayang Orang Lain, Bunga Rumah Makan, dan awal dan Mira.
1959 Bergabung Galeb Husien. Mengadakan pertunjukan drama spektakuler di depan Kantor RRI Tanjung Pinang, yaitu drama pasien. Idrus Tintin sebagai peran utama, bermain bersama beberapa orang seperti Edi Nur, Ita Harahap. Pertunjukan di sutradarai Galeb Husien, dan Asisten Sutradara Idrus Tintin. Semenjak itu setiap ada kegiatan perayaan pemerintah daerah kelompok Idrus Tintin selalu diajak untuk bermain drama.
Mengkoordinir drama dan pertunjukan drama CIS, dan Pasien di Gedung Setia Dharma Pekanbaru selama dua malam dibantu Thamrin Riau. Kesempatan dialog dengan penonton, drama yang ditampilkan Idrus tintin di samping mendapat pujian, juga mendapat protes sebab drama yang dibawakan merupakan drama yang tidak biasa bagi mereka.
Belajar teater non formal di Jakarta dengan harapan dapat masuk ASDRAFI. Bertemu dengan Galeb Husien belajar teater seperti di ATNI.
Bertemu dan latihan bermain teater cerita? Kereta Kencana? di temapat Motinggo Busye.
Melanjutkan perjalanan ke Solo dan belajar teater pada S. Tossani. Bermain tearer di Surabaya bertepatan dengan hari kelahiran Idrus Tintin.

1960 Kembali ke Rengat dan menikah dengan Masni seorang perempuan Rengat Indragiri, Riau. Bekerja di Kantor Penerangan Rengat, Indragiri, Riau.
Membentuk kelompok teater dan berkali-kali memimpin pertunjukan bersama Taufik Effendi Aria, Bakri, Rusdi Abduh di Rengat, Tanjung Pinang, Tembilahan. Naskah cerita yang dimainkan merupakan naskah yang dibuat sendiri namun tidak terarsip baik Idrus Tintin maupun kawan-kawan grupnya. Kegiatan berteater di Rengat dilakukan sampai tahun 1965.
1964
Mengikuti festival Drama di Pekanbaru yang ditaja oleh Pemerintah Daerah Riau Idrus Tintin mendapat penghargaan sebagai actor terbaik.
1966 Memimpin dan menyutradarai sebuah pertunjukan drama di Gedung Trikora, yang didukung anatara lain oleh M. Rasul, Taufik Effendi Aria, Mami Soebrantas, dan RP Marpaung.
1970 Pindah ke Jakarta, bekerja di sebuah Travel Nusantara Air Center dan Majalah Indonesia Movie rubric budaya.
Membentuk Grup Movies Teater di Gedung Kesenian Jakarta bersama dengan Alex Zulkarnain.
1973 Meninggalkan semua pekerjaan di Jakarta, kembali ke Rengat kemudian tahun yang sama pindah ke Pekanbaru dan bekerja di Perusahaan Penimbunan Pasir.
Menyutradarai pertunjukan ?Hariamau Tingkis? di Balia Dang Merdu di bawah koordinator BM Syam dengan para pemain antara lain Faruq AIwi, Patopoi Menteng, Akhyar dan Yusuf Dang.
Berhenti bekerja di perusahaan, kemudian bekerja sebagai pegawai honor Bagian Humas Kantor Gubernur Riau dan salah seorang pengasuh majalah Gema Riau. 1974 Mendirikan Teater Bahana dibantu oleb Armawi KH.
1975 Mengajar di SMAN 2 Pekanbaru. Idrus Tintin membina siswanya berkesenian di Teater Bahana. Minimal satu kali sebulan Teater Bahana melakukan pementasan di Pekanbaru.
1996 Menerima Anugrah Sagang untuk seniman/budayawan terpilih dari Yayasan Sagang Riau Pos Media Grup.
Idrus Tintin selalu mengikuti pertemuan ilmiah baik sebagai pembicara, peserta maupun mengadakan pertunjukan teater monolog. Kawan-kawan Idrus mengatakan bahwa kehidupan Idrus adalah teater.

2003 14 Juli, Idnus Tinti tutup usia.
ski telah tiada, rekam jejaknya di dunia seni terus mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Pada 8 November 2011, Presiden Presiden Republik Indonesia Keenam (2004-2014)
Susilo Bambang Yudhoyono atas nama pemerintah Indonesia menganugerahkan Idrus Tintin penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma. Penghargaan tertinggi di bidang seni dan budaya itu diserahkan langsung kepada ahli waris Idrus Tintin yang diwakili putrinya, Multi Tintin, di Istana Negara. "Kami semua bersyukur atas anugerah ini. Terima kasih pada pemerintah yang memberikan perhatian atas perjuangan orangtua kami. Mudah-mudahan anugerah ini bisa dilanjutkan para generasi muda,'' ujar Multi Tintin usai menerima penghargaan seperti dikutip dari situs riaupos.co.id

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3876-seniman-kebanggaan-riau
Copyright © tokohindonesia.com
drus Tintin melalui masa kecilnya di zaman pergolakan di saat para pemuda masih memperjuangkan kemerdekaan. Namun dalam situasi yang serba sulit itu, Idrus seakan menemukan dunianya sendiri. Pria kelahiran Rengat, Kepulauan Riau, 10 November 1932 ini tenggelam dalam kegiatannya di bidang seni, mulai dari Lihat Daftar Tokoh Teater
teater hingga sastra.

Idrus dibesarkan dalam lingkungan keluarga berdarah asli Melayu Riau. Ayahnya, Tintin, berasal dari Lubuk Ambacang, Indragiri, sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Sementara ibunya, Tiamah, berasal dari Penyimahan dan menetap di Enok Dalam, Melayu Timur, Indragiri, sekarang termasuk wilayah Indragiri Hilir, Riau.

Ayah Idrus yang berprofesi sebagai nakhoda awalnya bekerja di Jawatan Pelayaran Indonesia, baru kemudian dipindahtugaskan ke Laut Cina Selatan, Tarempa, Kepulauan Riau menakhodai Kapal Patroli Pemerintah. Dengan berbagai pertimbangan, Tintin memboyong keluarganya untuk menetap di Tarempa. Pada 14 Desember 1941, pasukan Jepang membombardir wilayah Tarempa. Dalam peristiwa tersebut sekitar 300 orang masyarakat sipil menjadi korban, termasuk ayahanda Idrus yang kemudian meninggal dunia pada tahun 1942.

Setelah kepergian ayahnya, Idrus bersama ibu dan ketiga saudaranya pindah ke Rengat. Di sana ia meneruskan pendidikannya yang sempat terbengkalai akibat perang. Setamatnya dari Sekolah Rakyat, anak ketiga dari empat bersaudara ini melanjutkan pendidikannya di Chugakko, namun tidak selesai. Sekitar tahun 1941, ia dititipkan oleh ibunya di asrama penampungan yatim piatu Dai Toa Kodomo Ryo milik Pemerintah Jepang. Semenjak tinggal di asrama inilah, Idrus mulai mengenal dunia drama. Idrus kemudian memulai debutnya sebagai pemain Lihat Daftar Tokoh Teater
teater setelah direkrut grup drama pimpinan Raja Khatijah. Bersama seorang rekannya yang bernama Hasan Basri, Idrus berperan dalam satu pertunjukan drama bahasa Jepang.

Karena kefasihannya berbahasa Jepang, Idrus diterima bekerja di Sentral Telepon Pendudukan Jepang. Kemudian di tahun 1943, ia dipindahkan ke asrama Kubota dan bekerja di Biro Okabutai di Tanjung Pinang selama 5 bulan. Di tengah kesibukannya bekerja, Idrus masih meluangkan waktunya untuk menggeluti dunia Lihat Daftar Tokoh Teater
teater. Hal itu dibuktikan dengan keterlibatannya dalam pertunjukan drama pendek yang mengisahkan kehidupan petani dan nelayan yang hidup melarat berjudul Noserang.

Di penghujung tahun 1944, Idrus Tintin hijrah ke Tembilahan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pendiri Muhammadiyah 1912
Muhammadiyah, yang lagi-lagi tak berhasil diselesaikannya. Setahun berikutnya, Idrus kembali ke Rengat untuk meneruskan pendidikan SMP, sambil melanjutkan hobinya bermain teater. Idrus beberapa kali tampil dalam pementasan bersama grup Seniman Muda Indonesia (SEMI) asuhan Agus, Moeis dan Hasbullah. Meski sibuk berkesenian, Idrus tetap memperhatikan pendidikannya. Selain di sekolah formal, ia juga mengikuti kursus di sore hari untuk program ekstranei hingga lulus. Terakhir, pria yang akrab disapa Derus oleh keluarga dan kawan-kawannya ini menempuh pendidikan di SMA Sore Tanjung Pinang.

Saat masih berumur 16 tahun, tepatnya di bulan Februari 1949, Idrus bergabung menjadi anggota TNI. Setahun kemudian, ia mulai bertugas sebagai Staf Q Brigade DD Angkatan Darat di Tanjung Pinang. Namun profesi itu tak lama digelutinya karena kecintaan Idrus pada dunia seni khususnya teater nampaknya sulit dilepaskan begitu saja. Pada 1952, Idrus mendirikan sebuah sanggar sandiwara bernama Gurinda di Tarempa.

Dua tahun berikutnya, ia mengawali karirnya sebagai pegawai negeri mulai dari juru tulis hingga berhasil meraih posisi sebagai Kepala Kantor Sosial Kewedanan Pulau Tujuh. Sayang, baru tiga tahun berdinas, Idrus mulai merasakan kesulitan membagi waktu antara aktivitasnya di dunia seni dengan pekerjaannya sebagai pegawai negeri. Idrus akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya dan pindah ke Tanjung Pinang. Di kota itu, ia membentuk kelompok teater non formal bersama Hanafi Harun pada 1958. Kala itu Idrus tampil sebanyak puluhan kali memainkan naskah buatannya sendiri, yakni Buih dan Kasih Sayang Orang Lain, Bunga Rumah Makan, serta Awal dan Mira.

Naskah lain yang pernah ditulis Idrus berjudul Pasien yang kemudian dimainkannya sekitar tahun 1959 dalam sebuah pertunjukan drama spektakuler di depan Kantor RRI Tanjung Pinang. Dalam drama yang dibesut Galeb Husein itu, Idrus yang bertindak sebagai asisten sutradara sekaligus pemeran utama beradu akting dengan sejumlah aktor pendukung seperti Edi Nur dan Ita Harahap. Drama tersebut di samping menuai banyak pujian, juga sempat diprotes lantaran dianggap tak biasa. Sejak kesuksesan drama "Pasien", Idrus dan kelompok teaternya selalu diundang untuk mengisi acara yang diadakan pemerintah daerah setempat.

Tak cukup puas mendulang sukses di tanah kelahirannya, pada tahun 1959, Idrus merantau ke Pulau Jawa guna menimba ilmu dan memperluas wawasan seputar dunia seni peran. Saat itulah, ia mulai berkenalan dengan seniman teater ternama ibukota seperti Seniman Pelopor Angkatan 45
Asrul Sani, Rendra, B. Jayakesuma, Soekarno M. Noor, Ismet M. Noor, Sineas Perfilman
Teguh Karya, Chairul Umam, dan masih banyak lagi. Pertemuannya dengan nama-nama besar tadi menjadi awal perkenalan Idrus dengan dunia teater modern.
Sosok Idrus dinilai berhasil mendobrak dominasi sandiwara tradisional/klasik yang terkesan eksklusif (menutup diri) terhadap unsur-unsur baru. Berbeda dengan teater modern atau kontemporer yang penuh kreasi. Inovasi tersebut belakangan banyak memberikan pengaruh pada para seniman Riau dan sekitarnya.

Sejak itu pula, untuk mempertajam kemampuannya, Idrus getol mengikuti berbagai forum diskusi, terutama yang membicarakan tentang seni peran dan penyutradaraan. Idrus juga menambah wawasannya dengan belajar teater non formal dengan harapan bisa masuk ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Sutradara
film Indonesia). Di masa perantauannya, ia juga sempat bertemu dan berlatih sebuah pementasan teater dengan judul Kereta Kencana di tempat Motinggo Busye. Dari ibukota, pengembaraannya kemudian berlanjut ke kota Solo. Di sana ia menimba ilmu teater pada S. Tossani. Selain itu, Idrus Tintin sempat tampil bermain teater di Surabaya, tepat di hari ulang tahunnya.

Setelah sekitar setahun hidup di perantauan, Idrus kembali ke Rengat pada tahun 1960 dan mengakhiri masa bujangnya dengan mempersunting seorang Lihat Daftar Tokoh Perempuan
perempuan dari Indragiri bernama Masani. Setelah menikah, kegiatan Idrus sebagai seniman teater terus berlanjut, bahkan ia membentuk sebuah kelompok teater di kampung halamannya. Setiap ada perayaan hari-hari besar, ia hampir tak pernah absen menunjukkan kebolehannya berakting di panggung teater bersama sejumlah rekan sesama seniman lainnya seperti Taufik Effendi Aria, Bakri, dan Rusdi Abduh di Rengat, Tanjung Pinang, Tembilahan. Semua itu dijalaninya hingga tahun 1965, dan sepanjang periode itu, Idrus banyak mencatat prestasi diantaranya sebagai Aktor Terbaik pada Festival Drama di Pekanbaru yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Riau tahun 1964.

Selanjutnya di tahun 1966, Idrus memulai debutnya sebagai sutradara sekaligus pemimpin pertunjukan teater modern berjudul Tanda Silang. Pertunjukan yang digelar di Gedung Trikora Pekanbaru itu menampilkan M. Rasul, Taufik Effendi Aria, Mami Soebrantas, dan RP Marpaung. Empat tahun berselang, Idrus hijrah ke Jakarta dan bekerja di Travel Nusantara Air Center serta menjadi pengasuh rubrik budaya di Majalah Indonesia Movie. Ia juga membentuk Grup Movies Teater di Gedung Kesenian Jakarta bersama Alex Zulkarnain. Awal tahun 70-an, Idrus Tintin meninggalkan semua pekerjaannya di ibukota dan kembali ke Rengat, kemudian pindah lagi ke Pekanbaru dan bekerja di perusahaan penimbunan pasir.

Tepat di perayaan HUT Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Kemerdekaan RI tahun 1974, Idrus kembali ke dunia teater dan menyutradarai pertunjukan teater kolosal dengan judul Harimau Tingkis di Balai Dang Merdu Pekanbaru. Pertunjukan tersebut di bawah koordinator BM Syam dengan para pemain antara lain Faruq AIwi, Patopoi Menteng, Akhyar dan Yusuf Dang. Masih di tahun yang sama, bersama Armawai KH, Idrus mendirikan sanggar teater di Riau dengan nama Teater Bahana.

Selanjutnya, Idrus kembali berganti pekerjaan. Setelah memutuskan keluar dari perusahaan penimbunan pasir, ia bekerja sebagai pegawai honor Bagian Humas Kantor Gubernur Riau sekaligus menjadi pengasuh majalah Gema Riau. Kemudian di tahun 1975, Idrus Tintin menjadi guru honorer di SMA Negeri 2, Pekanbaru, Riau selama 17 tahun. Idrus membina siswanya berkesenian di sanggar Teater Bahana yang didirikannya. Setidaknya, grup teater pimpinan Idrus itu tampil sebulan sekali di Pekanbaru. Selain giat di panggung, Idrus Tintin juga selalu mengikuti pertemuan ilmiah baik sebagai pembicara, peserta maupun mengadakan pertunjukan teater monolog.

Demikian halnya di dunia tulis menulis, kemampuannya sebagai Penyair Legendaris Indonesia
penyair tak disangsikan lagi. Idrus bahkan dianggap sebagai penulis yang mampu menjadikan hal-hal tragedik menjadi komedik. Selain naskah teater, Idrus juga menuangkan imajinasinya dalam bentuk sajak dan puisi yang terangkum dalam berbagai buku yakni Luput, Burung Waktu, Nyanyian di Lautan, Tarian di Tengah Hutan, dan Jelajah Cakrawala.

Meski demikian, banyak tokoh kesenian berpendapat bahwa Idrus lebih menonjol dengan keaktorannya dalam dunia teater dibanding kiprahnya sebagai Penyair Legendaris Indonesia
penyair. Sosok Idrus dinilai berhasil mendobrak dominasi sandiwara tradisional/klasik yang terkesan eksklusif (menutup diri) terhadap unsur-unsur baru. Berbeda dengan teater modern atau kontemporer yang penuh kreasi. Inovasi tersebut belakangan banyak memberikan pengaruh pada para seniman Riau dan sekitarnya. Tak heran, meski kerap berganti-ganti pekerjaan, kawan-kawannya selalu mengidentikkan kehidupan Idrus Tintin adalah teater.

Di usia 71 tahun, tepatnya pada 14 Juli 2003, seniman teater dan Penyair Legendaris Indonesia
penyair ini meninggal dunia akibat penyakit stroke. Ia meninggalkan 7 orang anak dan dua orang istri, Mahani dan Masani. Jasadnya dikebumikan di pemakaman raja-raja Rengat, berdekatan dengan Masjid Raya Rengat Indragiri Hulu, Riau.

Meski telah tiada, rekam jejaknya di dunia seni terus mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Pada 8 November 2011, Presiden Presiden Republik Indonesia Keenam (2004-2014)
Susilo Bambang Yudhoyono atas nama pemerintah Indonesia menganugerahkan Idrus Tintin penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma. Penghargaan tertinggi di bidang seni dan budaya itu diserahkan langsung kepada ahli waris Idrus Tintin yang diwakili putrinya, Multi Tintin, di Istana Negara. "Kami semua bersyukur atas anugerah ini. Terima kasih pada pemerintah yang memberikan perhatian atas perjuangan orangtua kami. Mudah-mudahan anugerah ini bisa dilanjutkan para generasi muda,'' ujar Multi Tintin usai menerima penghargaan seperti dikutip dari situs riaupos.co.id.

Di mata orang-orang yang pernah mengenalnya, sosok Idrus Tintin dinilai sebagai seorang seniman yang total mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk berkarya di bidang seni terutama teater sehingga ia dianggap pantas mendapat penghargaan tersebut. Seperti yang diungkapkan budayawan Riau yang juga sahabat Idrus semasa masih aktif berkarya, Dr (HC) Tenas Effendy. ''Secara umum Idrus Tintin menjadi contoh bagi seniman dan budayawan lain di Riau dari segi kegigihannya dalam berkarya. Ia memang sahabat dan seniman yang luar biasa. Hingga penghargaan ini memang patut diraihnya,'' ucap Tenas.

Sebelumnya di tahun 1996, jerih payah dan jasa-jasa Idrus bagi budaya dan kesenian sudah mendapat pengakuan dari Yayasan Sagang yang memberikannya Anugrah Sagang, sebuah penghargaan seni paling bergengsi di Riau. Kemudian pada tahun 2001, Dewan Kesenian Riau menobatkan Idrus Tintin sebagai Seniman Pemangku Negeri (SPN) kategori Seni Teater

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3876-seniman-kebanggaan-riau
Copyright © tokohindonesia.com
drus Tintin melalui masa kecilnya di zaman pergolakan di saat para pemuda masih memperjuangkan kemerdekaan. Namun dalam situasi yang serba sulit itu, Idrus seakan menemukan dunianya sendiri. Pria kelahiran Rengat, Kepulauan Riau, 10 November 1932 ini tenggelam dalam kegiatannya di bidang seni, mulai dari Lihat Daftar Tokoh Teater
teater hingga sastra.

Idrus dibesarkan dalam lingkungan keluarga berdarah asli Melayu Riau. Ayahnya, Tintin, berasal dari Lubuk Ambacang, Indragiri, sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Sementara ibunya, Tiamah, berasal dari Penyimahan dan menetap di Enok Dalam, Melayu Timur, Indragiri, sekarang termasuk wilayah Indragiri Hilir, Riau.

Ayah Idrus yang berprofesi sebagai nakhoda awalnya bekerja di Jawatan Pelayaran Indonesia, baru kemudian dipindahtugaskan ke Laut Cina Selatan, Tarempa, Kepulauan Riau menakhodai Kapal Patroli Pemerintah. Dengan berbagai pertimbangan, Tintin memboyong keluarganya untuk menetap di Tarempa. Pada 14 Desember 1941, pasukan Jepang membombardir wilayah Tarempa. Dalam peristiwa tersebut sekitar 300 orang masyarakat sipil menjadi korban, termasuk ayahanda Idrus yang kemudian meninggal dunia pada tahun 1942.

Setelah kepergian ayahnya, Idrus bersama ibu dan ketiga saudaranya pindah ke Rengat. Di sana ia meneruskan pendidikannya yang sempat terbengkalai akibat perang. Setamatnya dari Sekolah Rakyat, anak ketiga dari empat bersaudara ini melanjutkan pendidikannya di Chugakko, namun tidak selesai. Sekitar tahun 1941, ia dititipkan oleh ibunya di asrama penampungan yatim piatu Dai Toa Kodomo Ryo milik Pemerintah Jepang. Semenjak tinggal di asrama inilah, Idrus mulai mengenal dunia drama. Idrus kemudian memulai debutnya sebagai pemain Lihat Daftar Tokoh Teater
teater setelah direkrut grup drama pimpinan Raja Khatijah. Bersama seorang rekannya yang bernama Hasan Basri, Idrus berperan dalam satu pertunjukan drama bahasa Jepang.

Karena kefasihannya berbahasa Jepang, Idrus diterima bekerja di Sentral Telepon Pendudukan Jepang. Kemudian di tahun 1943, ia dipindahkan ke asrama Kubota dan bekerja di Biro Okabutai di Tanjung Pinang selama 5 bulan. Di tengah kesibukannya bekerja, Idrus masih meluangkan waktunya untuk menggeluti dunia Lihat Daftar Tokoh Teater
teater. Hal itu dibuktikan dengan keterlibatannya dalam pertunjukan drama pendek yang mengisahkan kehidupan petani dan nelayan yang hidup melarat berjudul Noserang.

Di penghujung tahun 1944, Idrus Tintin hijrah ke Tembilahan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pendiri Muhammadiyah 1912
Muhammadiyah, yang lagi-lagi tak berhasil diselesaikannya. Setahun berikutnya, Idrus kembali ke Rengat untuk meneruskan pendidikan SMP, sambil melanjutkan hobinya bermain teater. Idrus beberapa kali tampil dalam pementasan bersama grup Seniman Muda Indonesia (SEMI) asuhan Agus, Moeis dan Hasbullah. Meski sibuk berkesenian, Idrus tetap memperhatikan pendidikannya. Selain di sekolah formal, ia juga mengikuti kursus di sore hari untuk program ekstranei hingga lulus. Terakhir, pria yang akrab disapa Derus oleh keluarga dan kawan-kawannya ini menempuh pendidikan di SMA Sore Tanjung Pinang.

Saat masih berumur 16 tahun, tepatnya di bulan Februari 1949, Idrus bergabung menjadi anggota TNI. Setahun kemudian, ia mulai bertugas sebagai Staf Q Brigade DD Angkatan Darat di Tanjung Pinang. Namun profesi itu tak lama digelutinya karena kecintaan Idrus pada dunia seni khususnya teater nampaknya sulit dilepaskan begitu saja. Pada 1952, Idrus mendirikan sebuah sanggar sandiwara bernama Gurinda di Tarempa.

Dua tahun berikutnya, ia mengawali karirnya sebagai pegawai negeri mulai dari juru tulis hingga berhasil meraih posisi sebagai Kepala Kantor Sosial Kewedanan Pulau Tujuh. Sayang, baru tiga tahun berdinas, Idrus mulai merasakan kesulitan membagi waktu antara aktivitasnya di dunia seni dengan pekerjaannya sebagai pegawai negeri. Idrus akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya dan pindah ke Tanjung Pinang. Di kota itu, ia membentuk kelompok teater non formal bersama Hanafi Harun pada 1958. Kala itu Idrus tampil sebanyak puluhan kali memainkan naskah buatannya sendiri, yakni Buih dan Kasih Sayang Orang Lain, Bunga Rumah Makan, serta Awal dan Mira.

Naskah lain yang pernah ditulis Idrus berjudul Pasien yang kemudian dimainkannya sekitar tahun 1959 dalam sebuah pertunjukan drama spektakuler di depan Kantor RRI Tanjung Pinang. Dalam drama yang dibesut Galeb Husein itu, Idrus yang bertindak sebagai asisten sutradara sekaligus pemeran utama beradu akting dengan sejumlah aktor pendukung seperti Edi Nur dan Ita Harahap. Drama tersebut di samping menuai banyak pujian, juga sempat diprotes lantaran dianggap tak biasa. Sejak kesuksesan drama "Pasien", Idrus dan kelompok teaternya selalu diundang untuk mengisi acara yang diadakan pemerintah daerah setempat.

Tak cukup puas mendulang sukses di tanah kelahirannya, pada tahun 1959, Idrus merantau ke Pulau Jawa guna menimba ilmu dan memperluas wawasan seputar dunia seni peran. Saat itulah, ia mulai berkenalan dengan seniman teater ternama ibukota seperti Seniman Pelopor Angkatan 45
Asrul Sani, Rendra, B. Jayakesuma, Soekarno M. Noor, Ismet M. Noor, Sineas Perfilman
Teguh Karya, Chairul Umam, dan masih banyak lagi. Pertemuannya dengan nama-nama besar tadi menjadi awal perkenalan Idrus dengan dunia teater modern.
Sosok Idrus dinilai berhasil mendobrak dominasi sandiwara tradisional/klasik yang terkesan eksklusif (menutup diri) terhadap unsur-unsur baru. Berbeda dengan teater modern atau kontemporer yang penuh kreasi. Inovasi tersebut belakangan banyak memberikan pengaruh pada para seniman Riau dan sekitarnya.

Sejak itu pula, untuk mempertajam kemampuannya, Idrus getol mengikuti berbagai forum diskusi, terutama yang membicarakan tentang seni peran dan penyutradaraan. Idrus juga menambah wawasannya dengan belajar teater non formal dengan harapan bisa masuk ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Sutradara
film Indonesia). Di masa perantauannya, ia juga sempat bertemu dan berlatih sebuah pementasan teater dengan judul Kereta Kencana di tempat Motinggo Busye. Dari ibukota, pengembaraannya kemudian berlanjut ke kota Solo. Di sana ia menimba ilmu teater pada S. Tossani. Selain itu, Idrus Tintin sempat tampil bermain teater di Surabaya, tepat di hari ulang tahunnya.

Setelah sekitar setahun hidup di perantauan, Idrus kembali ke Rengat pada tahun 1960 dan mengakhiri masa bujangnya dengan mempersunting seorang Lihat Daftar Tokoh Perempuan
perempuan dari Indragiri bernama Masani. Setelah menikah, kegiatan Idrus sebagai seniman teater terus berlanjut, bahkan ia membentuk sebuah kelompok teater di kampung halamannya. Setiap ada perayaan hari-hari besar, ia hampir tak pernah absen menunjukkan kebolehannya berakting di panggung teater bersama sejumlah rekan sesama seniman lainnya seperti Taufik Effendi Aria, Bakri, dan Rusdi Abduh di Rengat, Tanjung Pinang, Tembilahan. Semua itu dijalaninya hingga tahun 1965, dan sepanjang periode itu, Idrus banyak mencatat prestasi diantaranya sebagai Aktor Terbaik pada Festival Drama di Pekanbaru yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Riau tahun 1964.

Selanjutnya di tahun 1966, Idrus memulai debutnya sebagai sutradara sekaligus pemimpin pertunjukan teater modern berjudul Tanda Silang. Pertunjukan yang digelar di Gedung Trikora Pekanbaru itu menampilkan M. Rasul, Taufik Effendi Aria, Mami Soebrantas, dan RP Marpaung. Empat tahun berselang, Idrus hijrah ke Jakarta dan bekerja di Travel Nusantara Air Center serta menjadi pengasuh rubrik budaya di Majalah Indonesia Movie. Ia juga membentuk Grup Movies Teater di Gedung Kesenian Jakarta bersama Alex Zulkarnain. Awal tahun 70-an, Idrus Tintin meninggalkan semua pekerjaannya di ibukota dan kembali ke Rengat, kemudian pindah lagi ke Pekanbaru dan bekerja di perusahaan penimbunan pasir.

Tepat di perayaan HUT Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Kemerdekaan RI tahun 1974, Idrus kembali ke dunia teater dan menyutradarai pertunjukan teater kolosal dengan judul Harimau Tingkis di Balai Dang Merdu Pekanbaru. Pertunjukan tersebut di bawah koordinator BM Syam dengan para pemain antara lain Faruq AIwi, Patopoi Menteng, Akhyar dan Yusuf Dang. Masih di tahun yang sama, bersama Armawai KH, Idrus mendirikan sanggar teater di Riau dengan nama Teater Bahana.

Selanjutnya, Idrus kembali berganti pekerjaan. Setelah memutuskan keluar dari perusahaan penimbunan pasir, ia bekerja sebagai pegawai honor Bagian Humas Kantor Gubernur Riau sekaligus menjadi pengasuh majalah Gema Riau. Kemudian di tahun 1975, Idrus Tintin menjadi guru honorer di SMA Negeri 2, Pekanbaru, Riau selama 17 tahun. Idrus membina siswanya berkesenian di sanggar Teater Bahana yang didirikannya. Setidaknya, grup teater pimpinan Idrus itu tampil sebulan sekali di Pekanbaru. Selain giat di panggung, Idrus Tintin juga selalu mengikuti pertemuan ilmiah baik sebagai pembicara, peserta maupun mengadakan pertunjukan teater monolog.

Demikian halnya di dunia tulis menulis, kemampuannya sebagai Penyair Legendaris Indonesia
penyair tak disangsikan lagi. Idrus bahkan dianggap sebagai penulis yang mampu menjadikan hal-hal tragedik menjadi komedik. Selain naskah teater, Idrus juga menuangkan imajinasinya dalam bentuk sajak dan puisi yang terangkum dalam berbagai buku yakni Luput, Burung Waktu, Nyanyian di Lautan, Tarian di Tengah Hutan, dan Jelajah Cakrawala.

Meski demikian, banyak tokoh kesenian berpendapat bahwa Idrus lebih menonjol dengan keaktorannya dalam dunia teater dibanding kiprahnya sebagai Penyair Legendaris Indonesia
penyair. Sosok Idrus dinilai berhasil mendobrak dominasi sandiwara tradisional/klasik yang terkesan eksklusif (menutup diri) terhadap unsur-unsur baru. Berbeda dengan teater modern atau kontemporer yang penuh kreasi. Inovasi tersebut belakangan banyak memberikan pengaruh pada para seniman Riau dan sekitarnya. Tak heran, meski kerap berganti-ganti pekerjaan, kawan-kawannya selalu mengidentikkan kehidupan Idrus Tintin adalah teater.

Di usia 71 tahun, tepatnya pada 14 Juli 2003, seniman teater dan Penyair Legendaris Indonesia
penyair ini meninggal dunia akibat penyakit stroke. Ia meninggalkan 7 orang anak dan dua orang istri, Mahani dan Masani. Jasadnya dikebumikan di pemakaman raja-raja Rengat, berdekatan dengan Masjid Raya Rengat Indragiri Hulu, Riau.

Meski telah tiada, rekam jejaknya di dunia seni terus mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Pada 8 November 2011, Presiden Presiden Republik Indonesia Keenam (2004-2014)
Susilo Bambang Yudhoyono atas nama pemerintah Indonesia menganugerahkan Idrus Tintin penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma. Penghargaan tertinggi di bidang seni dan budaya itu diserahkan langsung kepada ahli waris Idrus Tintin yang diwakili putrinya, Multi Tintin, di Istana Negara. "Kami semua bersyukur atas anugerah ini. Terima kasih pada pemerintah yang memberikan perhatian atas perjuangan orangtua kami. Mudah-mudahan anugerah ini bisa dilanjutkan para generasi muda,'' ujar Multi Tintin usai menerima penghargaan seperti dikutip dari situs riaupos.co.id.

Di mata orang-orang yang pernah mengenalnya, sosok Idrus Tintin dinilai sebagai seorang seniman yang total mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk berkarya di bidang seni terutama teater sehingga ia dianggap pantas mendapat penghargaan tersebut. Seperti yang diungkapkan budayawan Riau yang juga sahabat Idrus semasa masih aktif berkarya, Dr (HC) Tenas Effendy. ''Secara umum Idrus Tintin menjadi contoh bagi seniman dan budayawan lain di Riau dari segi kegigihannya dalam berkarya. Ia memang sahabat dan seniman yang luar biasa. Hingga penghargaan ini memang patut diraihnya,'' ucap Tenas.

Sebelumnya di tahun 1996, jerih payah dan jasa-jasa Idrus bagi budaya dan kesenian sudah mendapat pengakuan dari Yayasan Sagang yang memberikannya Anugrah Sagang, sebuah penghargaan seni paling bergengsi di Riau. Kemudian pada tahun 2001, Dewan Kesenian Riau menobatkan Idrus Tintin sebagai Seniman Pemangku Negeri (SPN) kategori Seni Teater

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3876-seniman-kebanggaan-riau
Copyright © tokohindonesia.com



 Alhamdullilah akhirnya bisa diakses juga....💘💗💖💕