Sumber : https://aksarasastra.wordpress.com/category/teras-aksarasastra/biografi-sutardji-calzoum-bachri/
Sutardji Calzoum Bachri dengan sapaan akrab Bung Tardji, lahir di
Rengat, Indragiri Hulu, pada tanggal 24 Juni 1941. Sutardji C. Bachri
merupakan putra dari pasangan Mohammad Bachri yang berasal dari Prembun,
Kutoarjo, Jawa Tengah dan May Calzum yang berasal dari Tanbelan, Riau.
Beliau diberi gelar
sebagai “Presiden Penyair Indonesia”. Bung Tardji dikenal sebagai sastrawan pelopor puisi kontemporer.
“Dalam Puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang
membelenggunya seperti kamus dan penjajahan seperti moral kata yang
dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor serta
penjajahan gramatika. Bila kata dibebaskan, kreativitas pun
dimungkinkan. Karena kata-kata menciptakan dirinya sendiri, bermain
dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri.
Pendadakan kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap
berfungsi sebagai penyalur pengertian tiba-tiba karena kebebasannya bisa
menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tidak
terduga sebelumnya, yang kreatif.” Itulah yang diungkapkan Sutardji
Calzoum Bahri pada dalam kredo puisinya yang terkenal pada tanggal 30
Maret 1973.
1. O (Kumpulan Puisi, 1973),
2. Amuk (Kumpulan Puisi, 1977), dan
3. Kapak (Kumpulan Puisi, 1979).
Kumpulan puisnya, Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah
Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku
kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang
diterbitkan oleh Sinar Harapan.
1. Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976),
2. Writing from The Word (USA),
3. Westerly Review (Australia),
4. Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975),
5. Ik Wil Nogdulzendjaar Leven, Negh Moderne Indonesische Dichter (1979),
6. Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977),
7. Parade Puisi Indonesia (1990),
8. Majalah Tenggara,
9. Journal of Southeast Asean Lietrature 36 dan 37 (1997), dan
10.Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002).
Sutardji selain menulis puisi juga menulis esai dan cerpen.
Kumpulan cerpennya yang sudah dipublikasikan adalah Hujan Menulis Ayam
(Magelang, Indonesia Tera:2001). Sementara itu, esainya berjudul Gerak
Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar
kumpulan puisi “Bentara”. Sutardji juga menulis kajian sastra untuk
keperluan seminar. Sekarang sedang dipersiapkan kumpulan esai lengkap
dengan judul “Memo Sutardji”
Kronologis Hidup dan Kesenimanan
1932
10 November, lahir di
Rengat, Riau, kemudian Idrus di bawa orang tuanya pindah ke Tarempa,
Kepulauan Riau dan kemudian masuk Sekolah Rakyat di Tarempa.
1941
Pindah
ke Tanjung Pinang, Idrus Tintin melanjutkan Sekolah Rakyat tidak
selesai. Tinggal di asrama Dai Toa (asrama penampungan anak-anak yatim
paitu). Semenjak tinggal di asrama inilah Idrus Tintin mulai mengenal
dunia drama. Salah satu grup drama pimpinan Raja Khatijah terpilihlah
Idrus Tintin
Bersama Hasan Basri, untuk berperan: dalam satu pertunjukan drama bahasa Jepang di Gedung Daerah Tanjung Pinang (sekarang).
1943
Bekerja di sentral telepon perusahaan Okabutai milik pemerintahan pendudukan Jepang di Tanjung Pinang.
Jadi pemeranan dalam pertunjukan drama pendek ide cerita Noserang mengenai kehidupan petani yang hidup melarat.
1945
Pindah
ke Tembilahan dan masuk Sekolah SMP Muhammadiyah, tidak selesai..
Beramain teater sebagai Piguran bersama grup drama Agus Moeis dan
Hasbullah.
1947
Pindah ke Rengat dan melanjutkan Sekolah SMP.
Masa-masa sekolah di Rengat setiap ada kesempatan, Idrus selalu saja
bermain teater.1948 Idrus masuk tentara pangkat prajurit.
1950 Pindah ke Tanjung Pinang dan bekerja sebagai Staf Angkatan Darat.
1952 Pindah ke Tarempa Idrus Tintin mendirikan grup sandiwara ?Gurinda?.
1954 Masuk Pegawai Negeri sampai menjadi Kepala Kantor Sosial Kewedanan Pulau Tujuh.
1957
Idrus Tintin yang bergemilang dengan kesenian dan masih mencari
identitas diri maka dipindahkan ke Tanjung Pinang dan kemudian
meninggalkan tugas pegawai negeri.
1958 Bersama Hanafi Harun
membentuk kelompok teater non formal di Tanjung Pinang dan tampil
berpuluh kali. Beberapa cerita yang dimainkan yaitu Buih dan Kasih
Sayang Orang Lain, Bunga Rumah Makan, dan awal dan Mira.
1959
Bergabung Galeb Husien. Mengadakan pertunjukan drama spektakuler di
depan Kantor RRI Tanjung Pinang, yaitu drama pasien. Idrus Tintin
sebagai peran utama, bermain bersama beberapa orang seperti Edi Nur, Ita
Harahap. Pertunjukan di sutradarai Galeb Husien, dan Asisten Sutradara
Idrus Tintin. Semenjak itu setiap ada kegiatan perayaan pemerintah
daerah kelompok Idrus Tintin selalu diajak untuk bermain drama.
Mengkoordinir
drama dan pertunjukan drama CIS, dan Pasien di Gedung Setia Dharma
Pekanbaru selama dua malam dibantu Thamrin Riau. Kesempatan dialog
dengan penonton, drama yang ditampilkan Idrus tintin di samping mendapat
pujian, juga mendapat protes sebab drama yang dibawakan merupakan drama
yang tidak biasa bagi mereka.
Belajar teater non formal di Jakarta
dengan harapan dapat masuk ASDRAFI. Bertemu dengan Galeb Husien belajar
teater seperti di ATNI.
Bertemu dan latihan bermain teater cerita? Kereta Kencana? di temapat Motinggo Busye.
Melanjutkan
perjalanan ke Solo dan belajar teater pada S. Tossani. Bermain tearer
di Surabaya bertepatan dengan hari kelahiran Idrus Tintin.
1960
Kembali ke Rengat dan menikah dengan Masni seorang perempuan Rengat
Indragiri, Riau. Bekerja di Kantor Penerangan Rengat, Indragiri, Riau.
Membentuk
kelompok teater dan berkali-kali memimpin pertunjukan bersama Taufik
Effendi Aria, Bakri, Rusdi Abduh di Rengat, Tanjung Pinang, Tembilahan.
Naskah cerita yang dimainkan merupakan naskah yang dibuat sendiri namun
tidak terarsip baik Idrus Tintin maupun kawan-kawan grupnya. Kegiatan
berteater di Rengat dilakukan sampai tahun 1965.
1964
Mengikuti
festival Drama di Pekanbaru yang ditaja oleh Pemerintah Daerah Riau
Idrus Tintin mendapat penghargaan sebagai actor terbaik.
1966
Memimpin dan menyutradarai sebuah pertunjukan drama di Gedung Trikora,
yang didukung anatara lain oleh M. Rasul, Taufik Effendi Aria, Mami
Soebrantas, dan RP Marpaung.
1970 Pindah ke Jakarta, bekerja di sebuah Travel Nusantara Air Center dan Majalah Indonesia Movie rubric budaya.
Membentuk Grup Movies Teater di Gedung Kesenian Jakarta bersama dengan Alex Zulkarnain.
1973
Meninggalkan semua pekerjaan di Jakarta, kembali ke Rengat kemudian
tahun yang sama pindah ke Pekanbaru dan bekerja di Perusahaan Penimbunan
Pasir.
Menyutradarai pertunjukan ?Hariamau Tingkis? di Balia Dang
Merdu di bawah koordinator BM Syam dengan para pemain antara lain Faruq
AIwi, Patopoi Menteng, Akhyar dan Yusuf Dang.
Berhenti bekerja di
perusahaan, kemudian bekerja sebagai pegawai honor Bagian Humas Kantor
Gubernur Riau dan salah seorang pengasuh majalah Gema Riau. 1974
Mendirikan Teater Bahana dibantu oleb Armawi KH.
1975 Mengajar di
SMAN 2 Pekanbaru. Idrus Tintin membina siswanya
berkesenian di Teater Bahana. Minimal satu kali sebulan Teater Bahana
melakukan pementasan di Pekanbaru.
1996 Menerima Anugrah Sagang untuk seniman/budayawan terpilih dari Yayasan Sagang Riau Pos Media Grup.
Idrus
Tintin selalu mengikuti pertemuan ilmiah baik sebagai pembicara,
peserta maupun mengadakan pertunjukan teater monolog. Kawan-kawan Idrus
mengatakan bahwa kehidupan Idrus adalah teater.
2003 14 Juli, Idnus Tinti tutup usia.
ski telah tiada, rekam
jejaknya di dunia seni terus mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak.
Pada 8 November 2011, Presiden Presiden Republik Indonesia Keenam
(2004-2014)
Susilo Bambang Yudhoyono atas nama pemerintah Indonesia
menganugerahkan Idrus Tintin penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma.
Penghargaan tertinggi di bidang seni dan budaya itu diserahkan langsung
kepada ahli waris Idrus Tintin yang diwakili putrinya, Multi Tintin, di
Istana Negara. "Kami semua bersyukur atas anugerah ini. Terima kasih
pada pemerintah yang memberikan perhatian atas perjuangan orangtua kami.
Mudah-mudahan anugerah ini bisa dilanjutkan para generasi muda,'' ujar
Multi Tintin usai menerima penghargaan seperti dikutip dari situs
riaupos.co.id
Sumber:
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3876-seniman-kebanggaan-riau
Copyright © tokohindonesia.com
drus Tintin melalui
masa kecilnya di zaman pergolakan di saat para pemuda masih
memperjuangkan kemerdekaan. Namun dalam situasi yang serba sulit itu,
Idrus seakan menemukan dunianya sendiri. Pria kelahiran Rengat,
Kepulauan Riau, 10 November 1932 ini tenggelam dalam kegiatannya di
bidang seni, mulai dari Lihat Daftar Tokoh Teater
teater hingga sastra.
Idrus dibesarkan dalam lingkungan keluarga berdarah asli Melayu
Riau. Ayahnya, Tintin, berasal dari Lubuk Ambacang, Indragiri, sekarang
termasuk wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Sementara ibunya,
Tiamah, berasal dari Penyimahan dan menetap di Enok Dalam, Melayu Timur,
Indragiri, sekarang termasuk wilayah Indragiri Hilir, Riau.
Ayah Idrus yang berprofesi sebagai nakhoda awalnya bekerja di
Jawatan Pelayaran Indonesia, baru kemudian dipindahtugaskan ke Laut Cina
Selatan, Tarempa, Kepulauan Riau menakhodai Kapal Patroli Pemerintah.
Dengan berbagai pertimbangan, Tintin memboyong keluarganya untuk menetap
di Tarempa. Pada 14 Desember 1941, pasukan Jepang membombardir wilayah
Tarempa. Dalam peristiwa tersebut sekitar 300 orang masyarakat sipil
menjadi korban, termasuk ayahanda Idrus yang kemudian meninggal dunia
pada tahun 1942.
Setelah kepergian ayahnya, Idrus bersama ibu dan ketiga saudaranya
pindah ke Rengat. Di sana ia meneruskan pendidikannya yang sempat
terbengkalai akibat perang. Setamatnya dari Sekolah Rakyat, anak ketiga
dari empat bersaudara ini melanjutkan pendidikannya di Chugakko, namun
tidak selesai. Sekitar tahun 1941, ia dititipkan oleh ibunya di asrama
penampungan yatim piatu Dai Toa Kodomo Ryo milik Pemerintah Jepang.
Semenjak tinggal di asrama inilah, Idrus mulai mengenal dunia drama.
Idrus kemudian memulai debutnya sebagai pemain Lihat Daftar Tokoh Teater
teater setelah direkrut grup drama pimpinan Raja Khatijah. Bersama
seorang rekannya yang bernama Hasan Basri, Idrus berperan dalam satu
pertunjukan drama bahasa Jepang.
Karena kefasihannya berbahasa Jepang, Idrus diterima bekerja di
Sentral Telepon Pendudukan Jepang. Kemudian di tahun 1943, ia
dipindahkan ke asrama Kubota dan bekerja di Biro Okabutai di Tanjung
Pinang selama 5 bulan. Di tengah kesibukannya bekerja, Idrus masih
meluangkan waktunya untuk menggeluti dunia Lihat Daftar Tokoh Teater
teater. Hal itu dibuktikan dengan keterlibatannya dalam pertunjukan
drama pendek yang mengisahkan kehidupan petani dan nelayan yang hidup
melarat berjudul Noserang.
Di penghujung tahun 1944, Idrus Tintin hijrah ke Tembilahan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pendiri Muhammadiyah 1912
Muhammadiyah, yang lagi-lagi tak berhasil diselesaikannya. Setahun
berikutnya, Idrus kembali ke Rengat untuk meneruskan pendidikan SMP,
sambil melanjutkan hobinya bermain teater. Idrus beberapa kali tampil
dalam pementasan bersama grup Seniman Muda Indonesia (SEMI) asuhan Agus,
Moeis dan Hasbullah. Meski sibuk berkesenian, Idrus tetap memperhatikan
pendidikannya. Selain di sekolah formal, ia juga mengikuti kursus di
sore hari untuk program ekstranei hingga lulus. Terakhir, pria yang
akrab disapa Derus oleh keluarga dan kawan-kawannya ini menempuh
pendidikan di SMA Sore Tanjung Pinang.
Saat masih berumur 16 tahun, tepatnya di bulan Februari 1949, Idrus
bergabung menjadi anggota TNI. Setahun kemudian, ia mulai bertugas
sebagai Staf Q Brigade DD Angkatan Darat di Tanjung Pinang. Namun
profesi itu tak lama digelutinya karena kecintaan Idrus pada dunia seni
khususnya teater nampaknya sulit dilepaskan begitu saja. Pada 1952,
Idrus mendirikan sebuah sanggar sandiwara bernama Gurinda di Tarempa.
Dua tahun berikutnya, ia mengawali karirnya sebagai pegawai negeri
mulai dari juru tulis hingga berhasil meraih posisi sebagai Kepala
Kantor Sosial Kewedanan Pulau Tujuh. Sayang, baru tiga tahun berdinas,
Idrus mulai merasakan kesulitan membagi waktu antara aktivitasnya di
dunia seni dengan pekerjaannya sebagai pegawai negeri. Idrus akhirnya
mengundurkan diri dari jabatannya dan pindah ke Tanjung Pinang. Di kota
itu, ia membentuk kelompok teater non formal bersama Hanafi Harun pada
1958. Kala itu Idrus tampil sebanyak puluhan kali memainkan naskah
buatannya sendiri, yakni Buih dan Kasih Sayang Orang Lain, Bunga Rumah
Makan, serta Awal dan Mira.
Naskah lain yang pernah ditulis Idrus berjudul Pasien yang kemudian
dimainkannya sekitar tahun 1959 dalam sebuah pertunjukan drama
spektakuler di depan Kantor RRI Tanjung Pinang. Dalam drama yang dibesut
Galeb Husein itu, Idrus yang bertindak sebagai asisten sutradara
sekaligus pemeran utama beradu akting dengan sejumlah aktor pendukung
seperti Edi Nur dan Ita Harahap. Drama tersebut di samping menuai banyak
pujian, juga sempat diprotes lantaran dianggap tak biasa. Sejak
kesuksesan drama "Pasien", Idrus dan kelompok teaternya selalu diundang
untuk mengisi acara yang diadakan pemerintah daerah setempat.
Tak cukup puas mendulang sukses di tanah kelahirannya, pada tahun
1959, Idrus merantau ke Pulau Jawa guna menimba ilmu dan memperluas
wawasan seputar dunia seni peran. Saat itulah, ia mulai berkenalan
dengan seniman teater ternama ibukota seperti Seniman Pelopor Angkatan
45
Asrul Sani, Rendra, B. Jayakesuma, Soekarno M. Noor, Ismet M. Noor, Sineas Perfilman
Teguh Karya, Chairul Umam, dan masih banyak lagi. Pertemuannya
dengan nama-nama besar tadi menjadi awal perkenalan Idrus dengan dunia
teater modern.
Sosok Idrus dinilai berhasil mendobrak dominasi sandiwara
tradisional/klasik yang terkesan eksklusif (menutup diri) terhadap
unsur-unsur baru. Berbeda dengan teater modern atau kontemporer yang
penuh kreasi. Inovasi tersebut belakangan banyak memberikan pengaruh
pada para seniman Riau dan sekitarnya.
Sejak itu pula, untuk mempertajam kemampuannya, Idrus getol
mengikuti berbagai forum diskusi, terutama yang membicarakan tentang
seni peran dan penyutradaraan. Idrus juga menambah wawasannya dengan
belajar teater non formal dengan harapan bisa masuk ASDRAFI (Akademi
Seni Drama dan Sutradara
film Indonesia). Di masa perantauannya, ia juga sempat bertemu dan
berlatih sebuah pementasan teater dengan judul Kereta Kencana di tempat
Motinggo Busye. Dari ibukota, pengembaraannya kemudian berlanjut ke kota
Solo. Di sana ia menimba ilmu teater pada S. Tossani. Selain itu, Idrus
Tintin sempat tampil bermain teater di Surabaya, tepat di hari ulang
tahunnya.
Setelah sekitar setahun hidup di perantauan, Idrus kembali ke Rengat
pada tahun 1960 dan mengakhiri masa bujangnya dengan mempersunting
seorang Lihat Daftar Tokoh Perempuan
perempuan dari Indragiri bernama Masani. Setelah menikah, kegiatan
Idrus sebagai seniman teater terus berlanjut, bahkan ia membentuk sebuah
kelompok teater di kampung halamannya. Setiap ada perayaan hari-hari
besar, ia hampir tak pernah absen menunjukkan kebolehannya berakting di
panggung teater bersama sejumlah rekan sesama seniman lainnya seperti
Taufik Effendi Aria, Bakri, dan Rusdi Abduh di Rengat, Tanjung Pinang,
Tembilahan. Semua itu dijalaninya hingga tahun 1965, dan sepanjang
periode itu, Idrus banyak mencatat prestasi diantaranya sebagai Aktor
Terbaik pada Festival Drama di Pekanbaru yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Provinsi Riau tahun 1964.
Selanjutnya di tahun 1966, Idrus memulai debutnya sebagai sutradara
sekaligus pemimpin pertunjukan teater modern berjudul Tanda Silang.
Pertunjukan yang digelar di Gedung Trikora Pekanbaru itu menampilkan M.
Rasul, Taufik Effendi Aria, Mami Soebrantas, dan RP Marpaung. Empat
tahun berselang, Idrus hijrah ke Jakarta dan bekerja di Travel Nusantara
Air Center serta menjadi pengasuh rubrik budaya di Majalah Indonesia
Movie. Ia juga membentuk Grup Movies Teater di Gedung Kesenian Jakarta
bersama Alex Zulkarnain. Awal tahun 70-an, Idrus Tintin meninggalkan
semua pekerjaannya di ibukota dan kembali ke Rengat, kemudian pindah
lagi ke Pekanbaru dan bekerja di perusahaan penimbunan pasir.
Tepat di perayaan HUT Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Kemerdekaan RI tahun 1974, Idrus kembali ke dunia teater dan
menyutradarai pertunjukan teater kolosal dengan judul Harimau Tingkis di
Balai Dang Merdu Pekanbaru. Pertunjukan tersebut di bawah koordinator
BM Syam dengan para pemain antara lain Faruq AIwi, Patopoi Menteng,
Akhyar dan Yusuf Dang. Masih di tahun yang sama, bersama Armawai KH,
Idrus mendirikan sanggar teater di Riau dengan nama Teater Bahana.
Selanjutnya, Idrus kembali berganti pekerjaan. Setelah memutuskan
keluar dari perusahaan penimbunan pasir, ia bekerja sebagai pegawai
honor Bagian Humas Kantor Gubernur Riau sekaligus menjadi pengasuh
majalah Gema Riau. Kemudian di tahun 1975, Idrus Tintin menjadi guru
honorer di SMA Negeri 2, Pekanbaru, Riau selama 17 tahun. Idrus membina
siswanya berkesenian di sanggar Teater Bahana yang didirikannya.
Setidaknya, grup teater pimpinan Idrus itu tampil sebulan sekali di
Pekanbaru. Selain giat di panggung, Idrus Tintin juga selalu mengikuti
pertemuan ilmiah baik sebagai pembicara, peserta maupun mengadakan
pertunjukan teater monolog.
Demikian halnya di dunia tulis menulis, kemampuannya sebagai Penyair Legendaris Indonesia
penyair tak disangsikan lagi. Idrus bahkan dianggap sebagai penulis
yang mampu menjadikan hal-hal tragedik menjadi komedik. Selain naskah
teater, Idrus juga menuangkan imajinasinya dalam bentuk sajak dan puisi
yang terangkum dalam berbagai buku yakni Luput, Burung Waktu, Nyanyian
di Lautan, Tarian di Tengah Hutan, dan Jelajah Cakrawala.
Meski demikian, banyak tokoh kesenian berpendapat bahwa Idrus lebih
menonjol dengan keaktorannya dalam dunia teater dibanding kiprahnya
sebagai Penyair Legendaris Indonesia
penyair. Sosok Idrus dinilai berhasil mendobrak dominasi sandiwara
tradisional/klasik yang terkesan eksklusif (menutup diri) terhadap
unsur-unsur baru. Berbeda dengan teater modern atau kontemporer yang
penuh kreasi. Inovasi tersebut belakangan banyak memberikan pengaruh
pada para seniman Riau dan sekitarnya. Tak heran, meski kerap
berganti-ganti pekerjaan, kawan-kawannya selalu mengidentikkan kehidupan
Idrus Tintin adalah teater.
Di usia 71 tahun, tepatnya pada 14 Juli 2003, seniman teater dan Penyair Legendaris Indonesia
penyair ini meninggal dunia akibat penyakit stroke. Ia meninggalkan 7
orang anak dan dua orang istri, Mahani dan Masani. Jasadnya dikebumikan
di pemakaman raja-raja Rengat, berdekatan dengan Masjid Raya Rengat
Indragiri Hulu, Riau.
Meski telah tiada, rekam jejaknya di dunia seni terus mendapatkan
apresiasi dari berbagai pihak. Pada 8 November 2011, Presiden Presiden
Republik Indonesia Keenam (2004-2014)
Susilo Bambang Yudhoyono atas nama pemerintah Indonesia
menganugerahkan Idrus Tintin penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma.
Penghargaan tertinggi di bidang seni dan budaya itu diserahkan langsung
kepada ahli waris Idrus Tintin yang diwakili putrinya, Multi Tintin, di
Istana Negara. "Kami semua bersyukur atas anugerah ini. Terima kasih
pada pemerintah yang memberikan perhatian atas perjuangan orangtua kami.
Mudah-mudahan anugerah ini bisa dilanjutkan para generasi muda,'' ujar
Multi Tintin usai menerima penghargaan seperti dikutip dari situs
riaupos.co.id.
Di mata orang-orang yang pernah mengenalnya, sosok Idrus Tintin
dinilai sebagai seorang seniman yang total mengabdikan hampir seluruh
hidupnya untuk berkarya di bidang seni terutama teater sehingga ia
dianggap pantas mendapat penghargaan tersebut. Seperti yang diungkapkan
budayawan Riau yang juga sahabat Idrus semasa masih aktif berkarya, Dr
(HC) Tenas Effendy. ''Secara umum Idrus Tintin menjadi contoh bagi
seniman dan budayawan lain di Riau dari segi kegigihannya dalam
berkarya. Ia memang sahabat dan seniman yang luar biasa. Hingga
penghargaan ini memang patut diraihnya,'' ucap Tenas.
Sebelumnya di tahun 1996, jerih payah dan jasa-jasa Idrus bagi
budaya dan kesenian sudah mendapat pengakuan dari Yayasan Sagang yang
memberikannya Anugrah Sagang, sebuah penghargaan seni paling bergengsi
di Riau. Kemudian pada tahun 2001, Dewan Kesenian Riau menobatkan Idrus
Tintin sebagai Seniman Pemangku Negeri (SPN) kategori Seni Teater
Sumber:
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3876-seniman-kebanggaan-riau
Copyright © tokohindonesia.com
drus Tintin melalui
masa kecilnya di zaman pergolakan di saat para pemuda masih
memperjuangkan kemerdekaan. Namun dalam situasi yang serba sulit itu,
Idrus seakan menemukan dunianya sendiri. Pria kelahiran Rengat,
Kepulauan Riau, 10 November 1932 ini tenggelam dalam kegiatannya di
bidang seni, mulai dari Lihat Daftar Tokoh Teater
teater hingga sastra.
Idrus dibesarkan dalam lingkungan keluarga berdarah asli Melayu
Riau. Ayahnya, Tintin, berasal dari Lubuk Ambacang, Indragiri, sekarang
termasuk wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Sementara ibunya,
Tiamah, berasal dari Penyimahan dan menetap di Enok Dalam, Melayu Timur,
Indragiri, sekarang termasuk wilayah Indragiri Hilir, Riau.
Ayah Idrus yang berprofesi sebagai nakhoda awalnya bekerja di
Jawatan Pelayaran Indonesia, baru kemudian dipindahtugaskan ke Laut Cina
Selatan, Tarempa, Kepulauan Riau menakhodai Kapal Patroli Pemerintah.
Dengan berbagai pertimbangan, Tintin memboyong keluarganya untuk menetap
di Tarempa. Pada 14 Desember 1941, pasukan Jepang membombardir wilayah
Tarempa. Dalam peristiwa tersebut sekitar 300 orang masyarakat sipil
menjadi korban, termasuk ayahanda Idrus yang kemudian meninggal dunia
pada tahun 1942.
Setelah kepergian ayahnya, Idrus bersama ibu dan ketiga saudaranya
pindah ke Rengat. Di sana ia meneruskan pendidikannya yang sempat
terbengkalai akibat perang. Setamatnya dari Sekolah Rakyat, anak ketiga
dari empat bersaudara ini melanjutkan pendidikannya di Chugakko, namun
tidak selesai. Sekitar tahun 1941, ia dititipkan oleh ibunya di asrama
penampungan yatim piatu Dai Toa Kodomo Ryo milik Pemerintah Jepang.
Semenjak tinggal di asrama inilah, Idrus mulai mengenal dunia drama.
Idrus kemudian memulai debutnya sebagai pemain Lihat Daftar Tokoh Teater
teater setelah direkrut grup drama pimpinan Raja Khatijah. Bersama
seorang rekannya yang bernama Hasan Basri, Idrus berperan dalam satu
pertunjukan drama bahasa Jepang.
Karena kefasihannya berbahasa Jepang, Idrus diterima bekerja di
Sentral Telepon Pendudukan Jepang. Kemudian di tahun 1943, ia
dipindahkan ke asrama Kubota dan bekerja di Biro Okabutai di Tanjung
Pinang selama 5 bulan. Di tengah kesibukannya bekerja, Idrus masih
meluangkan waktunya untuk menggeluti dunia Lihat Daftar Tokoh Teater
teater. Hal itu dibuktikan dengan keterlibatannya dalam pertunjukan
drama pendek yang mengisahkan kehidupan petani dan nelayan yang hidup
melarat berjudul Noserang.
Di penghujung tahun 1944, Idrus Tintin hijrah ke Tembilahan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pendiri Muhammadiyah 1912
Muhammadiyah, yang lagi-lagi tak berhasil diselesaikannya. Setahun
berikutnya, Idrus kembali ke Rengat untuk meneruskan pendidikan SMP,
sambil melanjutkan hobinya bermain teater. Idrus beberapa kali tampil
dalam pementasan bersama grup Seniman Muda Indonesia (SEMI) asuhan Agus,
Moeis dan Hasbullah. Meski sibuk berkesenian, Idrus tetap memperhatikan
pendidikannya. Selain di sekolah formal, ia juga mengikuti kursus di
sore hari untuk program ekstranei hingga lulus. Terakhir, pria yang
akrab disapa Derus oleh keluarga dan kawan-kawannya ini menempuh
pendidikan di SMA Sore Tanjung Pinang.
Saat masih berumur 16 tahun, tepatnya di bulan Februari 1949, Idrus
bergabung menjadi anggota TNI. Setahun kemudian, ia mulai bertugas
sebagai Staf Q Brigade DD Angkatan Darat di Tanjung Pinang. Namun
profesi itu tak lama digelutinya karena kecintaan Idrus pada dunia seni
khususnya teater nampaknya sulit dilepaskan begitu saja. Pada 1952,
Idrus mendirikan sebuah sanggar sandiwara bernama Gurinda di Tarempa.
Dua tahun berikutnya, ia mengawali karirnya sebagai pegawai negeri
mulai dari juru tulis hingga berhasil meraih posisi sebagai Kepala
Kantor Sosial Kewedanan Pulau Tujuh. Sayang, baru tiga tahun berdinas,
Idrus mulai merasakan kesulitan membagi waktu antara aktivitasnya di
dunia seni dengan pekerjaannya sebagai pegawai negeri. Idrus akhirnya
mengundurkan diri dari jabatannya dan pindah ke Tanjung Pinang. Di kota
itu, ia membentuk kelompok teater non formal bersama Hanafi Harun pada
1958. Kala itu Idrus tampil sebanyak puluhan kali memainkan naskah
buatannya sendiri, yakni Buih dan Kasih Sayang Orang Lain, Bunga Rumah
Makan, serta Awal dan Mira.
Naskah lain yang pernah ditulis Idrus berjudul Pasien yang kemudian
dimainkannya sekitar tahun 1959 dalam sebuah pertunjukan drama
spektakuler di depan Kantor RRI Tanjung Pinang. Dalam drama yang dibesut
Galeb Husein itu, Idrus yang bertindak sebagai asisten sutradara
sekaligus pemeran utama beradu akting dengan sejumlah aktor pendukung
seperti Edi Nur dan Ita Harahap. Drama tersebut di samping menuai banyak
pujian, juga sempat diprotes lantaran dianggap tak biasa. Sejak
kesuksesan drama "Pasien", Idrus dan kelompok teaternya selalu diundang
untuk mengisi acara yang diadakan pemerintah daerah setempat.
Tak cukup puas mendulang sukses di tanah kelahirannya, pada tahun
1959, Idrus merantau ke Pulau Jawa guna menimba ilmu dan memperluas
wawasan seputar dunia seni peran. Saat itulah, ia mulai berkenalan
dengan seniman teater ternama ibukota seperti Seniman Pelopor Angkatan
45
Asrul Sani, Rendra, B. Jayakesuma, Soekarno M. Noor, Ismet M. Noor, Sineas Perfilman
Teguh Karya, Chairul Umam, dan masih banyak lagi. Pertemuannya
dengan nama-nama besar tadi menjadi awal perkenalan Idrus dengan dunia
teater modern.
Sosok Idrus dinilai berhasil mendobrak dominasi sandiwara
tradisional/klasik yang terkesan eksklusif (menutup diri) terhadap
unsur-unsur baru. Berbeda dengan teater modern atau kontemporer yang
penuh kreasi. Inovasi tersebut belakangan banyak memberikan pengaruh
pada para seniman Riau dan sekitarnya.
Sejak itu pula, untuk mempertajam kemampuannya, Idrus getol
mengikuti berbagai forum diskusi, terutama yang membicarakan tentang
seni peran dan penyutradaraan. Idrus juga menambah wawasannya dengan
belajar teater non formal dengan harapan bisa masuk ASDRAFI (Akademi
Seni Drama dan Sutradara
film Indonesia). Di masa perantauannya, ia juga sempat bertemu dan
berlatih sebuah pementasan teater dengan judul Kereta Kencana di tempat
Motinggo Busye. Dari ibukota, pengembaraannya kemudian berlanjut ke kota
Solo. Di sana ia menimba ilmu teater pada S. Tossani. Selain itu, Idrus
Tintin sempat tampil bermain teater di Surabaya, tepat di hari ulang
tahunnya.
Setelah sekitar setahun hidup di perantauan, Idrus kembali ke Rengat
pada tahun 1960 dan mengakhiri masa bujangnya dengan mempersunting
seorang Lihat Daftar Tokoh Perempuan
perempuan dari Indragiri bernama Masani. Setelah menikah, kegiatan
Idrus sebagai seniman teater terus berlanjut, bahkan ia membentuk sebuah
kelompok teater di kampung halamannya. Setiap ada perayaan hari-hari
besar, ia hampir tak pernah absen menunjukkan kebolehannya berakting di
panggung teater bersama sejumlah rekan sesama seniman lainnya seperti
Taufik Effendi Aria, Bakri, dan Rusdi Abduh di Rengat, Tanjung Pinang,
Tembilahan. Semua itu dijalaninya hingga tahun 1965, dan sepanjang
periode itu, Idrus banyak mencatat prestasi diantaranya sebagai Aktor
Terbaik pada Festival Drama di Pekanbaru yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Provinsi Riau tahun 1964.
Selanjutnya di tahun 1966, Idrus memulai debutnya sebagai sutradara
sekaligus pemimpin pertunjukan teater modern berjudul Tanda Silang.
Pertunjukan yang digelar di Gedung Trikora Pekanbaru itu menampilkan M.
Rasul, Taufik Effendi Aria, Mami Soebrantas, dan RP Marpaung. Empat
tahun berselang, Idrus hijrah ke Jakarta dan bekerja di Travel Nusantara
Air Center serta menjadi pengasuh rubrik budaya di Majalah Indonesia
Movie. Ia juga membentuk Grup Movies Teater di Gedung Kesenian Jakarta
bersama Alex Zulkarnain. Awal tahun 70-an, Idrus Tintin meninggalkan
semua pekerjaannya di ibukota dan kembali ke Rengat, kemudian pindah
lagi ke Pekanbaru dan bekerja di perusahaan penimbunan pasir.
Tepat di perayaan HUT Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Kemerdekaan RI tahun 1974, Idrus kembali ke dunia teater dan
menyutradarai pertunjukan teater kolosal dengan judul Harimau Tingkis di
Balai Dang Merdu Pekanbaru. Pertunjukan tersebut di bawah koordinator
BM Syam dengan para pemain antara lain Faruq AIwi, Patopoi Menteng,
Akhyar dan Yusuf Dang. Masih di tahun yang sama, bersama Armawai KH,
Idrus mendirikan sanggar teater di Riau dengan nama Teater Bahana.
Selanjutnya, Idrus kembali berganti pekerjaan. Setelah memutuskan
keluar dari perusahaan penimbunan pasir, ia bekerja sebagai pegawai
honor Bagian Humas Kantor Gubernur Riau sekaligus menjadi pengasuh
majalah Gema Riau. Kemudian di tahun 1975, Idrus Tintin menjadi guru
honorer di SMA Negeri 2, Pekanbaru, Riau selama 17 tahun. Idrus membina
siswanya berkesenian di sanggar Teater Bahana yang didirikannya.
Setidaknya, grup teater pimpinan Idrus itu tampil sebulan sekali di
Pekanbaru. Selain giat di panggung, Idrus Tintin juga selalu mengikuti
pertemuan ilmiah baik sebagai pembicara, peserta maupun mengadakan
pertunjukan teater monolog.
Demikian halnya di dunia tulis menulis, kemampuannya sebagai Penyair Legendaris Indonesia
penyair tak disangsikan lagi. Idrus bahkan dianggap sebagai penulis
yang mampu menjadikan hal-hal tragedik menjadi komedik. Selain naskah
teater, Idrus juga menuangkan imajinasinya dalam bentuk sajak dan puisi
yang terangkum dalam berbagai buku yakni Luput, Burung Waktu, Nyanyian
di Lautan, Tarian di Tengah Hutan, dan Jelajah Cakrawala.
Meski demikian, banyak tokoh kesenian berpendapat bahwa Idrus lebih
menonjol dengan keaktorannya dalam dunia teater dibanding kiprahnya
sebagai Penyair Legendaris Indonesia
penyair. Sosok Idrus dinilai berhasil mendobrak dominasi sandiwara
tradisional/klasik yang terkesan eksklusif (menutup diri) terhadap
unsur-unsur baru. Berbeda dengan teater modern atau kontemporer yang
penuh kreasi. Inovasi tersebut belakangan banyak memberikan pengaruh
pada para seniman Riau dan sekitarnya. Tak heran, meski kerap
berganti-ganti pekerjaan, kawan-kawannya selalu mengidentikkan kehidupan
Idrus Tintin adalah teater.
Di usia 71 tahun, tepatnya pada 14 Juli 2003, seniman teater dan Penyair Legendaris Indonesia
penyair ini meninggal dunia akibat penyakit stroke. Ia meninggalkan 7
orang anak dan dua orang istri, Mahani dan Masani. Jasadnya dikebumikan
di pemakaman raja-raja Rengat, berdekatan dengan Masjid Raya Rengat
Indragiri Hulu, Riau.
Meski telah tiada, rekam jejaknya di dunia seni terus mendapatkan
apresiasi dari berbagai pihak. Pada 8 November 2011, Presiden Presiden
Republik Indonesia Keenam (2004-2014)
Susilo Bambang Yudhoyono atas nama pemerintah Indonesia
menganugerahkan Idrus Tintin penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma.
Penghargaan tertinggi di bidang seni dan budaya itu diserahkan langsung
kepada ahli waris Idrus Tintin yang diwakili putrinya, Multi Tintin, di
Istana Negara. "Kami semua bersyukur atas anugerah ini. Terima kasih
pada pemerintah yang memberikan perhatian atas perjuangan orangtua kami.
Mudah-mudahan anugerah ini bisa dilanjutkan para generasi muda,'' ujar
Multi Tintin usai menerima penghargaan seperti dikutip dari situs
riaupos.co.id.
Di mata orang-orang yang pernah mengenalnya, sosok Idrus Tintin
dinilai sebagai seorang seniman yang total mengabdikan hampir seluruh
hidupnya untuk berkarya di bidang seni terutama teater sehingga ia
dianggap pantas mendapat penghargaan tersebut. Seperti yang diungkapkan
budayawan Riau yang juga sahabat Idrus semasa masih aktif berkarya, Dr
(HC) Tenas Effendy. ''Secara umum Idrus Tintin menjadi contoh bagi
seniman dan budayawan lain di Riau dari segi kegigihannya dalam
berkarya. Ia memang sahabat dan seniman yang luar biasa. Hingga
penghargaan ini memang patut diraihnya,'' ucap Tenas.
Sebelumnya di tahun 1996, jerih payah dan jasa-jasa Idrus bagi
budaya dan kesenian sudah mendapat pengakuan dari Yayasan Sagang yang
memberikannya Anugrah Sagang, sebuah penghargaan seni paling bergengsi
di Riau. Kemudian pada tahun 2001, Dewan Kesenian Riau menobatkan Idrus
Tintin sebagai Seniman Pemangku Negeri (SPN) kategori Seni Teater
Sumber:
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3876-seniman-kebanggaan-riau
Copyright © tokohindonesia.com