Absen lurr pripun kabare ?
Gua suka kale kalo iseng-iseng gunain google translate, terjemahin bahasa asing yang ngak gua pahami atau terjemahin bahasa Indonesia ke bahasa asing, tapi ujung-ujungnya tata bahasanya rada-rada kurang pas...kok ngene ngono mulu...tapi dikit banyak gua bisa meraba-raba maksudnya, ntahlah kalau orang aslinya baca....gua dengan Goggle Translate hari ini hehehehehehe...
Jangan tanyakan apa yang negara dapat perbuat kepada Anda,
tetapi tanyakan apa yang dapat kita perbuat kepada Negara
-John F Kennedy
Iseng gua translate ke Bahasa Jawa...yang emang ada pilihan terjemahannya...So, ngene ngono loh jadinya....
Aja takon apa negara bisa nindakake
sing nanging takon apa kita bisa nindakake
kanggo negara -
John F Kennedy versi Jawa Google Translate
Terserah Mr Googlelah. Whatever :))...... Piye iki ??? Kok jadi gono Mas Google ???...
Malah mboten ngertos. Betul tak kata-katanya ???
Sugeng siang.....Nyuwun Pangapunten sedoyo sedulur perkoplakan.
Matur thank you
------------------------------------------------------------------
The Day of Wong Jawa, Orang Jawa Suriname di Persimpangan Jalan
Laporan Arief Santosa , Suriname
Sumber : http://www2.jawapos.com/baca/artikel/21396/The-Day-of-Wong-Jawa-Orang-Jawa-Suriname-di-Persimpangan-Jalan
Hari ini, 9
Agustus, tepat 125 tahun orang Jawa untuk kali pertama menginjakkan
kaki di Suriname, negara kecil di Amerika Selatan. Banyak tantangan yang
harus dihadapi bangsa Jawa ke depan.
SEJARAH mencatat,
orang-orang Jawa mulai dikirim ke Suriname pada 1890. Kelompok imigran
Jawa pertama berjumlah 94 orang. Mereka dibawa dengan menggunakan kapal
laut dalam perjalanan berbulan-bulan dan tiba di koloni Belanda itu pada
9 Agustus 1890.
Kelompok itu direkrut De Nederlandsche Handel Maatschappij untuk dipekerjakan di perkebunan tebu dan pabrik gula Marienburg.
Empat tahun kemudian perusahaan yang sama kembali mengirim 582 orang
Jawa. Pada 1897 pemerintah Hindia Belanda mengambil alih proses
pengiriman imigran dari Indonesia itu. Hingga 1939, jumlah orang-orang
Jawa yang dibawa ke Suriname mencapai 32.956 orang dengan menggunakan 34
kali pengangkutan.
Orang-orang Jawa tersebut bekerja di perkebunan Belanda berdasar
sistem kontrak. Dalam perjanjian, mereka mempunyai hak untuk pulang ke
tanah air (repatriasi) bila masa kontraknya sudah habis. Maka, sejak
1890 hingga 1939, ada 8.120 orang yang memilih kembali ke Indonesia.
Kemudian, pada 1947, gelombang kedua repatriasi membawa 1.700 orang, dan
terakhir pada 1954 sebanyak 1.000 orang.
Dengan demikian, total tak lebih dari 11 ribu orang Jawa yang memilih
pulang ke tanah air. Sedangkan sebagian besar lainnya memutuskan untuk
menetap di Suriname dan kemudian beranak pinak hingga generasi keempat
sekarang ini.
”Mereka itulah nenek moyang kita. Karena itu, setiap tanggal 9
Agustus kita peringati sebagai The Day of Wong Jawa untuk menghormati
para leluhur yang telah banyak berkorban. Dinggo pengeling-eling nek awak dewe isih wong Jawa
(untuk pengingat bahwa kita masih orang Jawa),’’ ujar tokoh keturunan
Jawa paling populer di Suriname, Paul Salam Somohardjo, ketika ditemui Jawa Pos di kantor pusat Partai Pertjajah Luhur, Paramaribo, Selasa (4/8).
Paul Somohardjo adalah pendiri dan ketua umum partai orang Jawa
terbesar di Suriname itu. Dia juga pernah membidani lahirnya Partai
Pendawa Lima bersama Sahidi Rasaam, Rasiman, Muhammad Usman, dan Admin
Adna. Namun, kepemimpinannya kemudian dikudeta anak-anak muda yang
dimotori Raymond Sapoen pada 1997.
Paul juga pernah menjadi menteri kesosialan dan perumahan pada
2000–2005. Ketika Pertjajah Luhur menang dalam Pemilu 2005, dia diangkat
menjadi ketua parlemen. Puncaknya, pada 2010 Paul menjadi orang
keturunan Jawa pertama yang maju menjadi calon presiden. Namun, dia
gagal menyatukan partai-partai Jawa untuk mendukung dirinya. Akibatnya,
dalam pemilihan presiden di parlemen, dia pun kalah.
Menurut Paul, sudah saatnya orang Jawa meninggalkan paradigma lama
sebagai bangsa terjajah. Sudah saatnya sekarang orang Jawa membangun
Suriname. Sebab, hidup mati mereka ada di negara ini.
”Mulane, awak dewe ojo isin dadi wong Jawa. Ojo mung jenenge wae sing Jawa, tapi ora duwe rasa dadi wong Jawa
(Maka, kita jangan malu jadi orang Jawa. Jangan hanya namanya yang
Jawa, namun tidak punya rasa sebagai orang Jawa),” papar pria 72 tahun
yang lebih separo hidupnya dihabiskan di dunia politik itu.
Paul mengakui, orang Jawa masih sulit bisa memimpin negara karena
Suriname adalah negara multietnis yang kalah-menang dalam pemungutan
suara ditentukan banyak-sedikitnya warga. Sampai saat ini, jumlah
penduduk keturunan Jawa masih nomor empat di bawah etnis Hindustan
(India), Kreol (keturunan Afrika), serta keturunan Maroon (Negro
alasan).
Memang, belum ada data statistik akurat yang memastikan jumlah orang
Jawa di Suriname sekarang. Namun, kata Paul, jumlahnya masih sekitar 15
persen atau 80 ribu di antara total penduduk Suriname yang berjumlah 530
ribu jiwa. Jumlah itu tak banyak berubah dalam sepuluh tahun terakhir.
”Mergane bocah-bocah saiki ora gelem duwe anak akeh.
Paling-paling mung loro. Beda karo wong alasan (Maroon) sing duwe anak
iso sampai 10, malah ono sing duwe 18 anak (Sebab, anak-anak
sekarang tidak mau punya banyak anak. Paling-paling hanya dua. Berbeda
dengan warga Maroon yang sampai punya 10, bahkan 18 anak),” ungkap bapak
sebelas anak dari dua istri itu.
Selain soal jumlah warga yang kalah bila dibandingkan dengan bangsa
lain, bangsa Jawa belum mau menyatu, manunggal. Bangsa Jawa
terpecah-pecah dalam banyak kepentingan. Baik dalam politik, keagamaan,
maupun kemasyarakatan.
”Dalam riwayatnya, sejak masih menjadi buruh perkebunan, orang Jawa
memang tidak pernah bersatu. Padahal, kalau mau bersatu, bangsa ini akan
sangat kuat,” ucap Salimin Ardjooetomo, tokoh keturunan Jawa di
Suriname yang aktif bergerak melalui pelestarian bahasa dan kesenian
Jawa.
Menurut catatan dia, pada Pemilu 2010 sebenarnya partai-partai Jawa
yang selama ini terpecah-pecah sudah bisa bersatu. Mereka adalah Partai
Pertjajah Luhur, Partai Pendawa Lima, Partai D-Selikur, NPLO (National
Party voor Leaderschap en Outwikkeling), dan PPRS (Partij Pembangunan
RakjatSuriname). Hanya KTPI (Kerukunan Tulada Pranatan Inggil) yang masih enggan bergabung.
’’Lantaran partai Jawa belum bulat menyatu, majunya Paul Somohardjo
sebagai calon presiden pertama dari bangsa Jawa pun gagal total. Suara
orang Jawa di parlemen kalah dengan suara bangsa lain,’’ kata Salimin.
Pada Pemilu 2015 Mei lalu, lanjut Salimin, ketika Partai Pertjajah
Luhur kembali hendak mengusung Raymond Sapoen sebagai calon presiden
kedua dari keturunan Jawa, sebenarnya KTPI sudah berhasil didekati.
Namun, menjelang hari bitingan (pemungutan suara) dilakukan,
partai yang dipimpin Willy Sumita itu mendadak keluar dari koalisi
partai Jawa. KTPI memilih bergabung dengan partai milik bangsa Maroon,
ADOB. Partai Jawa pun kembali tidak mampu bersaing dengan partai bangsa
lain.
”Sepertinya partai Jawa sengaja dipecah-pecah biar tidak menyatu dan
besar. Sebab, kalau bersatu, orang Jawa pasti kuat,” tegas Salimin.
Bila partai bersatu, yang dicita-citakan bangsa Jawa bisa dicapai.
Yakni, terangkatnya martabat dan harga diri bangsa ini. Selama ini
bangsa Jawa masih dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Bangsa Jawa
masih sering dianggap ndeso, udik, kampungan, dan tradisional.
”Ini tantangan bangsa Jawa. Bagaimana bisa bergerak menjadi bangsa
yang modern tapi tetap menjaga adat istiadat, tradisi yang diwariskan
nenek moyang. Seperti yang dilakukan bangsa Jepang. Mereka menjadi
bangsa yang modern tapi tetap memelihara budaya warisan nenek
moyangnya,” papar pria 65 tahun itu.
Keprihatinan juga disampaikan anggota parlemen Raymond Sapoen.
Menurut dia, bangsa Jawa masih sulit memimpin negeri ini selama masih
terpencar-pencar dan cakar-cakaran sendiri. Selain itu, partai-partai
Jawa perlu direformasi agar tidak terkesan eksklusif, tertutup (untuk
bangsa lain), dan antidemokrasi.
”Partai Jawa harus terbuka untuk bangsa lain. Harus nasionalis. Yang
ada selama ini sangat eksklusif hanya untuk orang Jawa. Sehingga
bagaimana bisa meraih suara banyak kalau hanya menggantungkan dari
kalangan orang Jawa yang sudah dipecah-pecah di banyak partai,” kata
mantan menteri pendidikan dan pembangunan wilayah itu.
Pada Pemilu 2015, keturunan Jawa hanya diwakili sembilan orang di
parlemen. Itu pun lima di antara mereka berada di partai pemerintah
(Nationale Demokratische Partij/NDP). Sedangkan empat lainnya dari
Partai Pertjajah Luhur. Padahal, untuk bisa memenangi pemilihan presiden
di parlemen, minimal dibutuhkan 32 suara dari 52 anggota dewan.
Dengan kenyataan seperti itu, Sapoen tidak bisa memperkirakan kapan
bangsa Jawa bisa memimpin Suriname. Masih butuh waktu lama dan formula
baru dalam kehidupan politik bangsa Jawa.
”Yang mendasar, partai Jawa harus mau mengubah platform politiknya
dari partai tertutup menjadi partai nasional demokratis yang bisa
menarik bangsa lain,” tandas sarjana hukum yang mengaku memiliki nenek
moyang dari Banyumas, Jawa Tengah, tersebut.
Sementara itu, Staf Bidang Politik Kedutaan Besar RI di Suriname
Chairil Susena menilai, di tengah kompleksitas bangsa multietnis di
Suriname, bangsa Jawa berada di persimpangan jalan. Di satu pihak, ada
kalangan yang sudah berpikiran maju dan modern. Di pihak lain, banyak
keturunan Jawa yang masih berpikiran tradisional.
”Hal ini berdampak hingga dalam kehidupan politik bangsa ini.
Diperlukan kajian mendalam serta gerakan radikal agar bangsa Jawa bisa
segera sejajar dengan bangsa lain di Suriname,” tuturnya.
Yang turut memperlambat proses kemajuan bangsa Jawa di Suriname
adalah enggannya anak-anak muda yang berpendidikan tinggi untuk mengabdi
di negara sendiri. Mereka memilih ke luar negeri untuk merintis karir
yang konon lebih menjanjikan.
”Selulus SMA, biasanya anak-anak cerdas itu memilih kuliah ke
Belanda, Amerika, atau Kanada. Mereka jarang yang mau kembali. Mereka
baru pulang ke Suriname setelah pensiun atau bila sedang vakansi
(liburan),” bebernya.
”Bagi mereka, Suriname itu bukan untuk meniti karir, tapi untuk menikmati hidup,” tambahnya.
Padahal, kata Chas –panggilan alumnus Hubungan Internasional UGM itu–
di Suriname orang gampang mencari uang. Hanya, kalau tidak hati-hati,
gampang pula menghabiskannya. Terutama untuk biaya kelakuan (foya-foya).
Misalnya, di Suriname kini ada sedikitnya 26 kasino yang tersebar di
kota-kota besar. Belum termasuk yang kecil-kecil dan tidak jelas
izinnya. ”Untuk ukuran negara dengan jumlah penduduk sekecil ini (530
ribu jiwa), jumlah kasino sebanyak itu jadi kelihatan luar biasa,”
terangnya.
Belum lagi tempat-tempat mesum yang diiklankan secara bebas dan
terbuka di koran-koran. Bagi para pemilik modal, itu kesempatan untuk
mencuci uang sekaligus mengeruk untung. Sedangkan bagi yang ingin
bersenang-senang, Suriname memberi tempatnya.
”Di sini semua itu dianggap wajar, normal-normal saja. Belum ada
ketentuan yang tegas mengaturnya. Jadi, ya kita sendiri yang
pandai-pandai mengeremnya,” tandas Chas.